REPUBLIKA.CO.ID, Di sebuah halaman yang nyaman dalam lingkungan sub urban rapi, Bryon dan Julie Widner tengah menikmati minuman berenergi saat sedang berkontemplasi mengenai babak baru dalam hidup mereka. Hanya teman-teman terpercaya dan anggota keluarga yang tahu di mana mereka kini tinggal.
Mereka setuju diwawancara dengan satu syarat lokasi rumah tinggal mereka tetap tak diungkap.
Kali ini mereka terpaksa pindah lagi karena dengan gamblang mengekspos diri kepada bahaya. Setelah melakukan berbagai pertimbangan, pasangan sepakat untuk membolehkan kru film MSNBC mengikuti Widner hingga ke meja operasi.
Kamera tidak terlalu banyak mengambil detail, namun menangkap jelas bagaimana Widner merintih dan menahan sakit lur biasa hebat dalam penderitaan. Widner mengaku tak memedulikan itu. Sakit apa pun yang ia derita, baginya layak dirasakan mengingat perbuatan masa lalu, pelecehan yang ia lakukan dan luka yang ia sebabkan kepada orang lain selama bertahun-tahun.
Bryon memiliki motivasi lebih dalam dengan mempublikasikan kisahnya. Ia berpikir, bila ada celah bagi beberapa pemuda marah hingga hampir menjadi seorang skinhead, dan ia melihat penderitaan Widner, maka semoga ia mempertimbangkan dua kali.
Semoga para pemuda tadi bisa meyadari apa yang Widner katakan saat ini. "Itu bukalah misi besar rasis kulit putih. Saya cuma seorang preman."
Mereka pindah lagi sehari setelah film dokumenter "Erasing Hate" (menghapus kebencian) ditayangkan Juni lalu.
Lengan dan dada Widner masih penuh dengan tatto. Namun wajahnya besir dan tak ada luka. Ia cukup terkejut dengan rambut hitam tebalnya. Dengan kaca mata tipis dan wajah pembelajar, sang istri mengomentari suaminya mirip kutu buku.
Leher dan tangannya menderita kerusakan pigmen di sana sini. Ia juga kerap mengalami migrain dan harus menghindar dari sinar matahari. Namun ia berkata, "Itu hanyalah harga kecil yang harus saya bayar untuk kembali menjadi manusia."
Kepindahan itu membawa berkah keuangan bagi keluarga Widner. Julie memang harus menggadaikan cincin nikah mereka untuk berbelanja dan membayar sewa. Namun Widner telah menemukan pekerjaan tetap di bidang konstruksi. Ia juga telah memperoleh sertifikat GED dan pasangan itu berencana mengambil kelas di kampus komunitas lokal.
Mereka mengaku merasa lebih aman. Beberapa petugas polisi dan petugas PMK hidup di dekat lingkungan. FBI beberapa kali berkunjung dan polisi lokal mengetahui kisah mereka.
Namun tak sepenuhnya Bryon terbantu. Ia masih memiliki mimpi buruk menetap mengenai luka dan cedera yang mungkin ia sebabkan. Ia hanya bisa membayangkan karena kerap kali ketika mabuk ia akan memukuli seseorang hingga tanpa ampun. Apakah ia telah membuat buta seseorang? "Apakah saya telah membuat lumpuh seseorang," ujarnya. Ia tak tahu.
Namun ada beberapa peristiwa mengharukan. Setelah beberapa kali menjalani syuting untuk keperluan film dokumenter di California, seorang wanita kulit hitam menerima Widner dengan tangan terbuka dan tangis. "Saya memaafkan engkau," ujarnya.
--selesai--