REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW - Kementerian Luar Negeri Rusia, Rabu (2/11), mengatakan Rusia mempunyai banyak pertanyaan terkait operasi militer Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Libya.
Dalam sebuah pernyataan yang disiarkan di jejaring resminya, kementerian itu mengatakan pertanyaan tersebut mengenai bagaimana NATO melaksanakan resolusi 1973 Dewan Keamanan (DK) PBB.
Kementerian tersebut mengacu kepada korban dari masyarakat sipil sebagai dampak dari serangan udara, pasokan militer sebagai pelanggaran terhadap embargo, pengiriman pelatih dan pasukan khusus untuk mendukung salah satu pihak yang bertikai dalam konflik internal.
"Semua itu akan menuntut analisis terperinci dan tidak menyimpang serta pembicaraan yang jujur untuk mengambil pelajaran pada masa mendatang," kata kementerian tersebut.
Setelah penarikan pasukan NATO dari Libya, pemerintah baru dari negara Afrika Utara itu --Dewan Peralihan Nasional (NTC)-- akan mengambil alih tanggung jawab untuk melindungi rakyat mereka, kata kementerian tersebut.
Resolusi 1973 DK PBB menetapkan zona larangan terbang di wilayah Libya dan resolusi 2016 mencabut larangan terbang itu.
Sebelumnya, Sekretaris Jendral NATO Anders Fogh Rasmussen, Senin (31/10), memuji berakhirnya intervensi militer aliansi itu di Libya --yang membantu terwujudnya penggulingan dan mengakibatkan kematian Muamar Gaddafi.
"Kami bertindak untuk melindungi anda. Bersama-sama kita berhasil. Libya akhirnya bebas, dari Benghazi sampai Brega, dari Misrata sampai Pegunungan Barat dan ke Tripoli," kata Rasmussen.
Rasmussen menyatakan ia bangga atas peran yang dimainkan NATO dalam pemberontakan tujuh bulan melawan Gaddafi; pesawat dan kapal NATO melancarkan serangan terhadap pasukan orang kuat Libya itu.