REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA - Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menegaskan, ASEAN tidak akan membiarkan kawasan Asia Tenggara menjadi ajang persaingan negara-negara besar dan kuat untuk kepentingan tertentu.
"ASEAN tidak akan membiarkan Asia Tenggara menjadi ajang persaingan negara-negara yang menyebut diri mereka sebagai negara kuat," kata Marty kepada wartawan di lokasi KTT ke-19 ASEAN, Nusa Dua, Bali, Rabu sore.
Namun demikian, sikap itu tidak membuat ASEAN khawatir akan kehilangan hubungan baik dengan beberapa negara besar yang menjadi anggota forum KTT Asia Timur, seperti China, Jepang, Amerika Serikat, dan Rusia.
Menurut Marty, para pemimpin negara-negara ASEAN akan menyepakati Prinsip-prinsip Bali dalam KTT ke-19 ASEAN. Prinsip itu mengatur perilaku semua negara anggota, termasuk negara-negara kuat, sehingga perdamaian kawasan tetap terjaga.
Marty menjelaskan semua pertemuan tingkat menteri ASEAN sepakat bahwa kawasan Asia Tenggara telah menjadi kawasan yang aman, damai, dan stabil. Kawasan tersebut telah mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan konflik antaranggota.
Meski masih terjadi gejolak pada level internal negara tertentu, Marty menegaskan tetap ada kecenderungan yang positif untuk membuat situasi menjadi lebih baik.
Selain itu, katanya, ASEAN juga semakin menjadi elemen yang penting di dunia. Hal itu salah satunya ditandai dengan persetujuan Brazil untuk menandatangani Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama (TAC) ASEAN.
"Ini menandai semakin diterimanya TAC oleh masyarakat internasional," kata Marty.
TAC adalah perjanjian perdamaian di antara negara-negara Asia Tenggara yang dibuat oleh berbagai negara pendiri ASEAN.
TAC itu sendiri mulai diberlakukan pada 24 Februari 1976 dengan ditandatangani oleh pemimpin negara-negara Asia Tenggara saat itu seperti Presiden Soeharto, PM Singapura Lee Kuan Yew, Presiden Filipina Ferdinand Marcos, PM Malaysia Datuk Hussein Onn, dan PM Thailand Kukrit Pramoj.
Perjanjian TAC diubah pada 15 Desember 1987 dengan membolehkan masuknya negara-negara di luar Asia Tenggara, dan kembali diamandemen pada 25 Juli 1998 dengan menambahkan persyaratan persetujuan oleh seluruh negara anggota.