Jumat 25 Nov 2011 17:04 WIB

Masa Transisi, Kedaulatan Libya Dinilai dalam Bahaya

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI - Mantan wakil perdana menteri Ali Tarhuni pada Kamis (25/11) menyatakan kedaulatan Libya dalam bahaya, dengan secara tersirat menuduh Qatar ikut campur dalam urusan negaranya.

"Saya melihat bahaya bagi kedaulatan Libya. Saya melihat ancaman terhadap kekayaan rakyat Libya," kata Tarhuni kepada wartawan pada temu pers, dengan ia disebut mantan wakil perdana menteri Libya.

Tarhuni, yang juga pemimpin perminyakan dan keuangan Libya hingga Rabu, menyatakan negara Afrika utara itu menghadapi tantangan besar keamanan dan ekonomi.

Tetapi dalam acuan tersirat ke Qatar, yang memberi dana dan senjata kepada pemberontak, yang melancarkan perlawanan bersenjata melawan Moammar Gaddafi, Tarhuni menyatakan negara itu hanya mendengar suara "elit".

"Suara kita lihat sekarang adalah suara elit. Suara NTC, yang tidak dipilih. Suara yang didukung dari luar dengan uang, senjata dan hubungan masyarakat," kata Tarhuni, diduga mengacu ke Qatar, tapi tak menyebutnya langsung.

"Beberapa negara berdiri bersama kami dan semua negara itu memiliki kepentingan. Beberapa dari negara itu mulai berpikir bahwa mereka memiliki pengaruh, yang merupakan kesalahan," katanya.

Mantan pejabat NTC (Dewan Peralihan Negara), yang menyatakan menolak tawaran menjadi bagian dari pemerintah baru, yang berkuasa pada Kamis, mengatakan bahwa baginya, kedaulatan adalah yang paling penting, dengan menambahkan bahwa 90 persen dari rakyat Libya berusaha membentuk negara warga.

Tarhuni menyatakan Libya juga menghadapi tantangan keras ekonomi dan keamanan, termasuk menjaga sarana minyak dan perbatasan serta mengatasi masalah pengangguran.

"Tantangan banyak, pembangunan tentara kebangsaan, keamanan dalam negeri, perbatasan, keamanan sarana, seperti, sarana minyak, menyerap revolusioner dan membatasi senjata di jalanan," katanya mengutip beberapa tantangan, yang dihadapi penguasa baru Libya.

Beberapa pejabat Libya menyatakan prihatin atas keberadaan senjata di tangan mantan pemberontak, yang memerangi pengikut Gaddafi, terutama dalam ketiadaan tentara kebangsaan.

Di sisi ekonomi, Tarhuni menyatakan 30 persen pengangguran dan kelemahan unsur swasta menimbulkan tantangan, selain membangun kembali bidang, seperti, kesehatan dan pendidikan, yang benar-benar hancur.

"Pranata secara keseluruhan seutuhnya dengan semua unsur Gaddafi masih merupakan bagian dari itu. Itu bagian dari kecemasan rakyat Libya," kata Tarhuni, dengan menambahkan bahwa ia akan bekerja dalam membangun gerakan masyarakat dari luar daripada menjadi bagian dari pemerintah.

Jajaran pemerintahan baru di Tripoli dipuji Washington pada Rabu sebagai "langkah penting" demokrasi, tapi duri dari wilayah Libya menyoroti tantangan persatuan setelah 42 tahun kekuasaan Gaddafi.

Wilayah negara padang pasir luas, yang berperan utama dalam delapan bulan pemberontakan, yang menggulingkan kekuasaan Muamar Gaddafi, mengeluhkan peminggiran dalam kabinet sementara, yang lama ditunggu dan diresmikan pada Selasa malam.

Di antara yang mengeluh ialah kota utama Benghazi, Libya timur, tempat pemberontakan pecah, dan suku kecil Berber serta Toubou, yang termasuk benteng awal tentara pemberontak itu, yang mengalahkan pasukan Gaddafi.

"Tembakan" pertama terhadap jajaran itu, yang diumumkan perdana menteri sementara Abdel Rahim KiB, datang dari suku Berber, yang menuduh mereka kurang terwakili, tidak sesuai dengan peran kunci mereka dalam pemberontakan dari kubu mereka di pegunungan Nafusa di baratdaya Tripoli.

Kongres Nasional Amazigh mereka menyeru rakyat Libya, khususnya warga Berber, mengakhiri kerjasama dengan Dewan Peralihan Negara dan pemerintah sementara tersebut.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement