REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemerintah Indonesia melakukan proses evakuasi secara bertahap terhadap sekitar 100 Warga Negara Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Yaman, seiring dengan memburuknya situasi di negara itu.
"Ada kurang lebih 100 Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang belajar di perguruan tinggi (di Yaman). Selama ini pemerintah Indonesia sudah melakukan proses evakuasi secara bertahap terhadap warga negara kita dari Yaman," kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan bahwa proses evakuasi dilakukan berdasarkan perkembangan dan kondisi di negara tersebut. " Kita harapkan dengan situasi seperti ini saudara-saudara kita yang masih berada di Yaman terutama yang memerlukan perlindungan dan bantuan pemerintah untuk segera bisa berkomunikasi kapan proses evakuasi bisa dilakukan secara tertib," ujarnya.
Hal yang serupa, kata Menlu, juga dilakukan di Mesir, Tunisia dan Libya pada waktu lalu.
Menlu mengaku salah satu kendala yang dihadapi dalam proses evakuasi adalah keberadaan WNI yang menyebar di sejumlah kota dan banyak diantaranya yang tidak terdaftar. "Warga kita tersebar di beberapa kota dan banyak juga yang tidak mendaftarkan diri," ujarnya.
Namun, lanjut dia, pemerintah akan tetap menjalankan kewajibannya memberikan bantuan bagi warga negaranya di luar negeri. Sebelumnya Menlu mengonfirmasi mengenai dua mahasiswa Indonesia yang turut menjadi korban dalam suatu bentrokan di sebuah universitas di Yaman.
Dua Warga Negara Indonesia (WNI) tersebut sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi agama di Provinsi Saada, yang terletak di barat laut Yaman dan perbatasan Arab Saudi. Mereka dilaporkan tewas dalam sebuah serangan bom ke kampus mereka.
Selain WNI, menurut laporan kantor berita internasional, di antara 25 korban tewas dan 48 luka-luka dalam bentrokan 26 November itu terdapat pula warga negara AS, Malaysia dan Rusia.
Sementara itu dalam beberapa waktu terakhir sejumlah konflik terbuka terjadi di Yaman yang salah satunya menuntut penyelenggaraan pemilihan umum guna menggantikan Presiden Ali Abdullah Saleh yang telah setuju untuk mundur, mengakhiri 33 tahun masa pemerintahannya, setelah 10 bulan aksi demonstrasi.
Salah satu konflik itu adalah antara gerilyawan Syiah, Houthi, dan gerilyawan Sunni, Salafi. Anggota-anggota kelompok Zaidi dari Islam Syiah, gerilyawan Houthi, telah memimpin pemberontakan di provinsi Saada di utara, di mana pasukan Saleh telah berjuang untuk menghancurkan mereka, dengan campur tangan Arab Saudi secara militer pada 2009 sebelum gencatan senjata diadakan pada tahun berikutnya.
Houthi, yang secara efektif menguasasi Saada, telah meningkatkan kewaspadaan terhadap kepercayaan Salafi Sunni Arab Saudi yang menganggap penganut Syiah sebagai orang-orang bid'ah.
Kekerasan baru itu menekankan risiko perang saudara di negara yang berbatasan dengan pengekspor minyak terbesar dunia, Arab Saudi. Washington dan Riyadh mengkhawatirkan kekosongan politik di Yaman dapat memicu kebangkitan sayap Al Qaeda Yaman dan kemungkinan mengancam pasokan minyak.