REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Pemimpin senior Alqaidah Abu Yahya al-Libi, dalam satu pesan video yang disiarkan Senin (5/12), mendesak pemberontak Libya, yang mengalahkan pemerintah Muamar Qaddafi, agar mempertahankan senjata mereka dan melaksanakan hukum Islam.
Di dalam rekaman video 29 Oktober, al-Libi memuji pemberontak Libya karena telah menggulingkan pemerintah Muamar Qaddafi dan mendesak mereka agar tidak tunduk pada tekanan Barat guna menyerahkan senjata-senjata mereka, kata Kelompok Intelijen SITE --yang berpusat di Amerika Serikat.
"Senjata-senjata merupakan salah satu kekuatan pembebasan anda dari perbudakan yang buruk yang berlangsung lebih dari empat dasawarsa anda disiksa rezim Qaddafi. Menyerahkan senjata itu berarti perbudakan akan muncul kembali dalam bentuk baru dan menyerahkan diri kepada para pemimpin yang arogan, di dalam atau luar negeri, yang akan merampas keinginan anda mengendalikan kemerdekaan anda," katanya seperti yang dikutip terjemahan SITE.
Al-Libi menyatakan di Amerika senjata-senjata dijual 'seperti semangka', dan orang Amerika menganggap memiliki senjata adalah hak yang tidak dapat disentuh.
"Mengapa orang Amerika dan sekutu-sekutu Baratnya berusaha mencegah dan mencabut hak ini pada warga kita, yang agama Islam kita berikan kepada kita sebelum Amerika dan undang-undangnya ada?"
Al-Libi, yang adalah warga Libya tetapi tidak diketahui di mana ia berada sekarang, di dalam rekaman video tu terlihat mengenakan sorban hitam dan jubah putih dengan latar belakang merah.
Dia mendesak para pemberontak Libya menggunakan senjata-senjata mereka untuk "membela agama, nyawa, kehormatan dan uang mereka berdasarkan dengan hukum Islam".
"Pada pilihan-pilihan ini anda harus menemukan diri anda sendiri, anda harus memilih apakah rezim sekuler yang menyenangkan buaya-buaya Barat yang rakus dan menggunakannya sebagai alat untuk memenuhi tujuan-tujuan mereka, atau anda bersikap tegas dan menegakkan agama Allah," katanya.
Pemimpin sementara Libya Mustafa Abdel Jalil mengatakan hukum Islam akan merupakan hukum dasar Libya, yang memicu kecaman internasional dan menyerukan pengekangan diri di tengah-tengah kekhawatiran bahwa "Arab Spring" atau pemberontakan Arab mungkin melahirkan kelompok-kelompok garis keras yang "tidak kenal toleransi dan kejam".