REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) terus mengirim senjata pengendali massa ke Mesir, bahkan saat pasukan keamanan melakukan penindasan keras atas pemrotes di Negara Piramida tersebut, kata Amnesty International, Rabu (7/12).
Kelompok hak asasi tersebut menyatakan satu pengiriman paling akhir ke Mesir pada November membawa sedikitnya tujuh ton bahan kimia penyebab iritasi dan bahan lain yang biasa digunakan dalam kerusuhan seperti gas air mata, dan ditujukan buat Kementerian Dalam Negeri di negeri itu.
Semua pengiriman senjata semacam itu oleh AS harus dihentikan "sampai ada kepastian bahwa gas air mata dan senjata, amunisi atau peralatan lain tak berkaitan dengan pertumpahan darah di jalanan di Mesir," kata Brian Wood dari Amnesty International.
Kelompok hak asasi manusia tersebut dengan keras mengecam keputusan pemerintah AS untuk mengizinkan pengiriman itu, dan menyatakan pemerintah Mesir menanggapi protes dengan menggunakan kekerasan berlebihan dan mematikan.
"Tak bisa dibayangkan bahwa pemerintah AS tak tahu mengenai bukti pelecehan luas yang tercatat oleh pasukan keamanan Mesir," kata Amnesty International sebagaimana dikutip AFP.
Organsasi tersebut mendesak dicapainya kesepakatan internasional yang mencakup amunisi yang digunakan oleh badan penegak hukum.
"Bahkan dalam situasi saat pemrotes bentrok dengan polisi anti-huru-hara, tak ada izin untuk menggunakan kekerasan secara berlebihan dan gas air mata secara serampangan," kata Wood.
Pengiriman pada November oleh perusahaan AS, Combined Systems, Inc., setidaknya terdiri atas tiga pengiriman senjata ke Mesir sejak protes terhadap pemerintah presiden saat itu Hosni Mubarak meletus pada penghujung Januari.
Mubarak meletakkan jabatan dan telah digantikan oleh penguasa militer yang telah berikrar akan menyerahkan kekuasaan setelah pemilihan presiden paling lambat akhir Juni tahun depan.
Namun mereka membekukan undang-undang dasar, yang berarti wewenang pemerintah sementara dan parlemen baru yang saat ini dipilih jadi tak jelas.