REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG - Upacara peringatan dan pemakaman nasional pemimpin Korea Utara dikemas selama dua hari dengan koreografi duka massal. Acara itu sekaligus menjadi pengumuman publik bahwa anggota keluarga Kim generasi ketiga menjadi pemegang kekuasaan di Pyongyang.
Peringatan pada Kamis (29/12) tidak seemosional pada pemakaman Rabu. Namun masih tetap seperti perhelatan sehari sebelumnya, Korea Utara menunjukkan bahwa rezim tidak kehilangan satu kekuatan sedikitpun untuk memobilisasi massa. Ratusan ribu orang berjejal di Lapangan Kim Il Sung, jantung ibu kota.
Itu sekaligus menunjukkan bahwa Tentara Rakyat Korea, yang memainkan peranan penting dalam peringatan pemakaman, tetap menjadi pusat negara ultra-nasionalis yang didominasi oleh kebijakan militer. Kerumunan di lapangan--meski tak seluruhnya--didominasi oleh tentara.
Bagian terpenting adalah pertanda jels bahwa suksesi generasi ketiga dari dinasti Kim sudah disegel.
Posisi resmi Kim Jong Un sebelumnya adalah wakil ketua dari Komisi Militer Pusat dari Partai Buruh Korea. Namun kini ia--mengikuti wasiat dari ayahnya, Kim Jong Il pada 17 Desember, telah dielu-elukan dan disebut oleh media negara sebagai 'penerus' dan 'pemimpin'.
Dalam sebuah pidato dari balkon Grand People’s Study House yang mengarah ke bawah lapangan, Kim Yong Nam (tak ada kaitan kerabat), kepala Presidium Tertinggi dari Partai Pekerja Korea dan sejumlah pejabat tinggi negara, mendeklarasikan Kim Jong Un, sebagai 'pemimpin tertinggi' partai, militer dan rakyat Korea Utara
"Keadan di mana ia telah menuntaskan persoalan suksesi adalah pencapaian paling ksatria dari Kamerad Besar Kim Jong Il," ujarnya.
Dalam pidato lain, Jendral Kim Jong Gak (juga tak memiliki relasi saudara), kepala biro militer yang memonitor kesetiaan petugas, menegaskan bahwa Kim Jong-un adalah 'pemimpin tertinggi dari pasukan bersenjata revolusi kami'.
Sang pimpin baru, berbusana sepenuhnya hitam tidak menyampaikan pidato kepada massa yang berkumpul di lapangan. Ia mencontoh sikap yang hanya pernah melakukan satu pernyatan publik--saat itu dalam parade militer--yakni "Panjang Umur untuk Kejayaan Tentara Rakyat Korea !"
Seremoni itu dilangsungkan di Rumah Kajian Rakyat Akbar, sebuah bangunan besar ikonik yang diklaim Korut sebagai perpustakaan dengan koleksi dari 30 juta volume buku. Bangunan itu berdiri berhadapan dengan bangunan landmark "Menara Juche"--yang mencerminkan kebijakan 'bergantung pada diri sendiri' ala Kim Il Sung.