REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Kemenangan kubu Ikhwanul Muslimin (IM) pada pemilu tahap pertama Mesir awal November 2011 lalu, membuat kelompok besar tersebut berusaha untuk merangkul semua pihak dalam penyusunan draf konstitusi.
“Memenangkan suara mayoritas dalam parlemen bukan berarti berjalan sendiri untuk menyusun draf konstitusi. Kami juga harus mempertimbangkan hak-hak orang Mesir lainnya dan merangkul pihak yang gagal dalam pemilihan di parlemen,” ungkap Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), Muhammad Mursi, Selasa (3/1).
Dilansir dari situs Ikhwanul Muslimin, Mursi menyatakan semua kekuatan politik dan intelektual Mesir, terlepas dari perbedaan politik dan agama, akan mengambil bagian dalam penyusunan draf konstitusi. Sejalan dengan Mursi, Juru Bicara IM Mahmud Ghazlan, meminta komite hukum di partai tersebut untuk menyiapkan rancangan konstitusi baru.
FJP, kendaraan politik IM, sejauh ini telah memimpin dua dari tiga putaran pemungutan suara. Sementara Partai Islam Al-Nour berada di posisi kedua setelah IM. Al-Nour sendiri merupakan kelompok salafi yang ketat dalam aturan hukum Islam.
Bangkitnya partai-partai Islam ini mendorong kekhawatiran Barat akan masa depan hubungan Mesir, Washington, dan tentunya dengan Israel. Namun begitu, beberapa analis percaya bahwa IM dapat membangun koalisi dengan kelompok-kelompok sekuler. Hal tersebut tentu saja, dapat meredakan kekhawatiran di dalam negeri dan dunia Barat akan bangkitnya Islam di negara yang ekonominya disangga oleh pariwisata.
IM didirikan pada 1928 dan merupakan kekuatan politik yang terorganisir. Dalam perpolitikan di berbagai negara, IM ikut serta dalam proses demokrasi sebagai sarana perjuangannya, sebagaimana kelompok-kelompok lain yang mengakui demokrasi. Contoh utamanya adalah IM di Mesir yang mengikuti proses pemilu di negara tersebut.