REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN - Tekanan Barat, terutama yang digalang Amerika Serikat (AS) saat ini tengah hebat-hebatnya. Pangkalnya, kalau bukan sanksi atni-minyak Iran, terkait pengembangan nuklir negeri mullah tersebut.
Selain, balik mengancam Barat dengan akan menutup selat Hormuz, yang sudah dipastikan akan menutup aliran minyak ke beberapa dunia. Iran juga mengancam negara-negara Teluk yang merupakan penghasil minyak agar tidak 'ikut-ikutan' menaikkan produksi minyak jika nantinya Barat benar-benar memboikot minyak Iran.
"Kami akan menilainya sebagai tindakan yang tidak ramah" ujar jubir Iran Mohammad Ali Khatibi kepada surat kabar Sharq, Ahad (15/1).
"Jika negara penghasil minyak di wilayah Teluk memutuskan untuk menggantikan posisi Iran dalam penyediaan minyak, maka mereka harus bertanggung jawab dengan apa yang akan terjadi. Tidak ada yang bisa memperkirakan konsekuensinya" katanya menegaskan.
Ia mengatakan hal itu terkait sikap beberapa negara-negara Teluk nantinya yang diduga 'mengekor' AS terkait sanksi-anti minyak Iran, jika benar-benar dilakukan.
Sebagai langkah awal, AS pada akhir tahun 2011 menandatangani Undang-undang terkait sanksi anti-Iran yang dirilis Kongres. Langkah yang sebelumnya disepakati Kongres ini juga mencakup perusahaan asing yang memiliki transaksi dengan Bank Sentral Iran.
Keputusan baru ini disusun untuk memaksa negara dunia memilih bertransaksi dengan Iran atau Amerika. Undang-undang tersebut akan diberlakukan 60 hari mendatang, namun khusus transaksi minyak baru berlaku enam bulan mendatang.