Rabu 25 Jan 2012 05:57 WIB

Krisis Eropa Lebih 'Mematikan' Daripada Krisis Timur Tengah

Rep: Ditto Pappilanda/ Red: Ramdhan Muhaimin
Krisis Eropa (ilustrasi)
Krisis Eropa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kondisi politik dan ekonomi dunia saat ini terancam oleh dua krisis, yakni krisis keuangan di Eropa dan krisis politik di Timur Tengah, termasuk krisis nuklir-minyak Iran. Meski krisis Iran dan Timur Tengah terus menghangat, namun dampaknya tidak sebesar krisis Euro. Krisis keuangan di Eropa dinilai lebih mematikan.

"Yang dtakutkan mungkin malah dari Eropa. Jika Eropa betul-betul collapse, dan Zona Euro hilang, itu akan menggangu perekonomian dunia sangat signifikan, dan kita tidak akan bisa terlepas dari pengaruh negatifnya. Kalau sekarang Eropa sekadar resesi, itu biasa. Tapi kalau sampai Euro runtuh, dampaknya akan merepotkan sekali," ujar Kepala Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa saat berbincang dengan Republika, Selasa (24/1).

Menurutnya, dampak spresifiknya jika zona euro runtuh yang jelas adalah terpuruknya pasar modal, rupiah terkoreksi tajam, dan ekonomi dunia akan melambat secara signifikan. Investasi asing pun akan mengering karena semua export oriented companies akan merasakan tekanan yang dahsyat. Karena itu, lanjut dia,  pemerintah harus betul-betul menjaga pertumbuhan domestik jika kekhawatiran tersebut terjadi.

"Itu hal yang harus kita antisipasi dalam waktu dekat, ancaman paling dahsyat yang harus kita antisipasi jika mereka tidak bisa mengembalikan yang terjadi di sana," cetusnya.

Purbaya mengatakan, dampak yang ditimbulkan dari krisis Timur Tengah relatif kecil, yakni hanya sebatas kenaikan harga minyak. Apalagi menurutnya, Iran bukanlah lawan yang seimbang dari AS.

"Kalaupun perang mungkin cepat selesai, jadi kekuatan dunia sudah tidak seimbang sekarang. Jadi kalau ada syok di Iran, kenaikan harga minyak mungkin tidak akan terlalu lama," kata dia.

Imbasnya terhadap Indonesia, lanjut dia, yang paling dirasakan adalah harga minyak. Asia sendiri relatif stabil, kalaupun ada perubahan kekuatan ekonomi ke

Asia, Cina terutama, tidak akan berdampak signifikan dalam pola perdagangan. "Karena pola perdagangan berjalan dengan sistem pasar, bukan kontrol kekuatan,"pungkas Purbaya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement