REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA – Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan, mengecam keras kebijakan Perancis yang akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang genosida Armenia. Ia menyebut, RUU itu rasis dan diskriminatif.
“Jika RUU itu disahkan, Perancis dapat dikenai sanksi baru,” ujar Erdogan, Selasa (24/1).
Erdogan menganggap, RUU itu omong kosong. Hukum itu tidak boleh diberlakukan karena akan menjadi kesalahan moral, politik, dan hukum bagi Perancis. Ia masih memiliki harapan rancangan itu akan diperbaiki. Erdogan pun menegaskan, pihaknya tidak akan ragu untuk melakukan tindakan terhadap Perancis.
”Kami akan melakukan langkah sedikit demi sedikit. Saat ini kami masih bersabar,” ujar dia.
Satu-satunya cara untuk menghentikan pengesahan RUU itu jika PM Perancis, kepala DPR, atau 60 deputi meminta Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa RUU. Dengan diperiksa, RUU dapat dipertimbangkan sifatnya.
“Saya berharap 60 senator memohon MK untuk menghapuskan bayangan terhadap demokrasi Perancis,” ujar Presiden Turki, Abdullah Gul.
Menurut dia, jika RUU disahkan, hubungan Turki-Perancis akan terancam. Ia menjelaskan, hubungan kedua negara telah dikorbankan karena agenda politik.
Menlu Perancis Alain Juppe yang tidak setuju dengan RUU mengatakan pengesahan dilakukan di saat yang tidak tepat. Ia meminta Ankara tetap tenang.
“Kita membutuhkan hubungan yang baik dengan Turki. Kita harus melewati fase ini,” ujar Juppe. Turki dan Perancis memiliki hubungan ekonomi dan perdagangan. Ia berharap masalah ini tidak mengacaukan situasi.
Salah satu surat kabar Turki, Hurriyet, menuding Sarkozy sebagai pembunuh demokrasi. Surat kabar Sozcu pun menyebut ‘Sarkozy Sang Setan.’ Beberapa warga Turki mengatakan Turki harus membalas dengan tindakan serupa. Erdogan telah menuduh Perancis melakukan genosida pada masa penjajahan selam 132 tahun di Aljazair. “Negara kita harus membalasnya dengan cara yang sama,” ujar warga Ankara, Yilmaz Sesen.