REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Kerusuhan sepak bola menewaskan 74 orang dan seribuan luka dalam bentrok antarkelompok pendukung klub papan atas Liga Mesir, Al Masry dan Al Ahli, di Port Said pada Kamis (2/2) berbuntut panjang.
Beberapa penggemar sepak bola, yang juga berada di garis depan dalam unjukrasa menggulingkan Husni Mubarak beberapa waktu lalu, kini memunyai sasaran baru, yakni Marsekal Mohamed Hussein Tantawi, pengganti Husni Mubarak.
"Kami menginginkan kepalamu. Tantawi, kamu penjahat. Kamu mengukir namamu dalam sejarah, tapi kamu angkuh dan percaya Mesir dan rakyatnya dapat menjauh dan lupa pada revolusi mereka," kata kelompok penggemar sepak bola Ultras Tahrir Square (UTS) di halaman Facebook-nya.
Kemarahan kelompok itu dipicu serbuan penggemar ke lapangan pada Rabu (1/2) setelah pertandingan regu sepak bola Port Said, Al Masry, dengan lawannya, klub terkenal asal Kairo, Al Ahli. Kerusuhan itu mengakibatkan 74 orang tewas dan sedikit-dikitnya 1.000 orang luka.
Bagi "ultras" dan banyak politisi dan masyarakat awam Mesir, kemarahan itu bukan karena bentrokan antarpedukung, melainkan petugas keamanan hanya sedikit berperan dalam menghentikan kerusuhan itu, yang menambahkan peningkatan keputus-asaan terhadap kegagalan tentara memulihkan hukum dan ketertiban setelah hampir satu tahun mengambil alih kekuasaan.
"Pada hari ini, Marsekal itu dan sisa penguasa mengirimkan pesan jelas. Kami mendapatkan kebebasan atau mereka menghukum dan membunuh kami untuk ikut dalam revolusi melawan tirani," kata pernyataan kelompok itu, yang cepat beredar di dunia maya.
Penduduk Port Said, beberapa politisi dan "ultras" merasa menjadi sasaran.
"Ultras sangat terkenal dan dihormati di antara pelaku revolusi," kata warga Porta Said, yang juga pedagang, Ahmed Badr (45 tahun).
"Ultras menjadi sasaran. Itu perangkap bagi mereka, pembantaian. Dewan militer dan pasukan keamanan menjadi satu-satunya pihak bertanggungjawab atas acara seperti itu," katanya.