REPUBLIKA.CO.ID, DUBLIN -- Kegagalan Irlandia dalam mengumpulkan data statistik terkait kejahatan dan diskriminasi terhadap Muslim merupakan indikasi bahwa aktivitas rasisme telah melembaga. Demikian kesimpulan riset Universitas College Cork.
Peneliti dari Universitas Lamerick, James Carr, mengatakan, kegagalan sistem keamanan yang ada guna memantau kejahatan terhadap minoritas adalah wujud fasilitasi islamofobia di Irlandia.
"Sistem Garda masih belum mampu menangkap pelaku kejahatan terkait masalah agama. Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan sejauh mana perkembangan Islamofobia di negara ini," kata dia seperti dikutip dari theirishexaminer.com, Rabu (15/2).
Carr mengatakan data statistik ini sangat mendesak untuk diperoleh mengingat data hasil riset menyebutkan Islam telah berkembang dengan pesat di Irlandia selama 20 tahun terakhir. Di awal 1990-an, populasi Muslim berjumlah sekitar 4.000 jiwa. Kini, jumlahnya diperkirakan mencapau 40 ribu-45 ribu jiwa.
"Ada sekitar 15 juta Muslim di Uni Eropa, studi menunjukkan tren diskriminasi yang mengkhawatirkan dengan target komunitas Muslim di Eropa," kata dia.
Menurut Carr, semua itu terjadi karena stereotip negatif yang terbentuk. Sterotip itu membuat komunitas Muslim sangat rentan terhadap prasangka dan diskriminasi. "Apa yang terjadi di Irlandia merupakan warisan dari serangan teroris di New York dan London. Teroris itu dianggap Muslim. Jadi, ada semacam generalisir istilah teroris dan Muslim," katanya.
Karena itu, menurut Carr, dengan jumlah populasi yang terus meningkat. Komunitas Muslim harus bersiap menghadapi beragam tantangan ke depan. Semisal, tekanan masyarakat Irlandia, tempat ibadah yang layak, pendidikan, lingkungan kerja dan sistem hukum.