REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT— Pasukan pemerintah Suriah dan pasukan oposisi kembali bentrok di desa dan kota-kota Suriah pada Selasa (14/2). Pejabat Arab menegaskan siap mempersenjatai pihak oposisi Suriah jika pertumpahan darah tidak juga berhenti.
“Pada awalnya kami mendukung oposisi finansial dan diplomatik, tetapi jika pembunuhan terus terjadi, warga sipil harus dibantu untuk melindungi diri mereka sendiri,” kata duta besar Arab Saudi di Kairo.
Anncaman dukungan militer ini dimaksudkan menambah tekanan kepada Assad dan sekutunya Rusia dan Cina. Tetapi, penyediaan dukungan militer ini beresiko mengarah kepada perang saudara seperti di Libya.
Sebelumnya kota Homs, jantung kota pemberontakan terhadap Assad kembali alami kerusuhan. Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia melaporkan 20 orang tewas di Suriah pada Selasa (14/2). Korban termasuk pihak oposisi, warga sipil dan lima tentara tertembak dalam bentrokan dengan pemberontak di Kota Qalaat al-Madyaq, Hama.
Pejabat militer dari fraksi oposisi Suriah, Kapten Abdul Salam Ahmed Abdul Razek mengklaim, pasukan Suriah menggunakan senjata berupa gas beracun yang dilarang oleh hukum internasional untuk menyerang demonstran. Tindakan itu bahkan diawasi oleh Rusia dan Iran.
"Pasukan Suriah menggunakan gas beracun untuk melakukan serangan di Kota Homs dan akan menggunakannya pula di Kota Jebel al-Zawia dan al-Zabadi," ujar Abdul Razek, seperti dikutip Al Arabiya, Rabu (15/2).
Assad tampaknya tidak menyadari kutukan internasional untuk menghentikan kekerasan. Negara-negara Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi siap untuk membuat resolusi baru PBB. Resolusi itu akan berisi dukungan rencana perdamaian pada pertemuan Ahad mendatang di Kairo.