REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING - Cina mengatakan salah satu diplomatnya bertemu dengan ketua Liga Arab untuk membicarakan krisis Suriah dan satu utusan lain akan segera ke Timur Tengah.
Cina dan Rusia menghadapi kecaman internasional karena memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengecam tindakan keras pemerintah Suriah terhadap para pengunjuk rasa di negara itu termasuk dari negara-negara Arab yang memiliki hubungan baik dengan Beijing.
Dalam satu usaha untuk menjelaskan mengapa Beijing memveto resolusi itu, Li Huaxin mengunjungi Mesir pada Jumat (10/2) untuk bertemu dengan para pejabat Kementerian Luar Negeri dan berbicara dengan Ketua Liga Arab Nabil al-Arabi, Senin (13/2).
"Li adalah duta besar Beijing untuk Suriah sampai tahun lalu. Dia akan ke Arab Saudi dan Qatar untuk menjelaskan sikap Cina mengenai Suriah," kata juru bicara Kemlu Liu Weimin, Rabu (15/2).
Menurut Liu, utusan khusus Cina untuk Timur Tengah, Wu Sike juga akan ke Israel, wilayah-wilayah Palestina dan Jordania pada 19-23 Februari untuk menjelaskan sikap Beijing mengenai Suriah.
Dalam satu pernyataan yang dikeluarkan setelah bertemu dengan Arabi, Li yang dikutip media mengatakan Cina dan negara-negara Arab memiliki hubungan yang sangat bersahabat dan kooperatif, dan mempertahankan konsultasi erat dan koordinasi mengenai masalah-masalah politik.
"Semua pihak di Suriah harus segera menghentikan tindakan-tindakan kekerasan dan menghormati kebutuhan-kebutuhan rakyat Suriah bagi perubahan dan perlindungan kepentingan-kepentingan mereka sendiri," katanya.
Li juga menyerukan satu "proses politik yang melibatkan semua pihak" di Suriah dilakukan secepat mungkin.
Cina membela vetonya, dengan mengatakan mensahkan satu keputusan di mana Dewan Keamanan PBB terpecah tidak akan membantu menyelesaikan krisis Suriah, yang menganggapnya satu masalah domestik yang negara-negara luar seharusnya tidak melakukan campur tangan.
Tetapi Amerika Serikat menyebut veto Beijing dan Moskow itu satu "ejekan", dan kelompok oposisi Suriah lain mengatakan tindakan itu memberikan pemerintah Presiden Bashar al-Assad satu "izin untuk membunuh".