REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Akhir-akhir ini terjadi krisis bahan bakar minyak (BBM) dan listrik di Jalur Gaza, Palestina. Penderitaan warga di wilayah pesisir itu kian parah seiring masih langgengnya blokade Israel.
Relawan MER-C, Nur Ikhwan Abdi, yang setahun lebih bertugas mengawal pembangunan Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Gaza menuturkan kondisi rakyat Gaza kian terpuruk.
"Kami benar-benar merasakan bagaimana beratnya hidup terblokade dari dunia luar. Berbagai krisis melanda, berbagai permasalahan datang seolah tiada henti-hentinya mendera rakyat Gaza," tulis Ikhwan dalam surat elektroniknya kepada Republika Online, Jumat (17/2).
Saat ini, lanjut Ikhwan, ada dua krisis utama yang terjadi di Gaza; krisis BBM dan krisis listrik. Krisis ini sangat sering terjadi di Gaza sehingga menimbulkan efek berantai terhadap sisi kehidupan rakyat. Ketergantungan terhadap bahan bakar sebagai penggerak roda kehidupan rakyat sangat tinggi.
Dalam dua pekan terakhir, kelangkaan BBM semakin parah, antrian-antrian kendaraan di depo pengisian BBM semakin mengular. Berjam-jam mengantri, namun ketika tiba di dekat pom bensin, BBM yang dibutuhkan telah habis. "Ini yang dialami oleh Tim MER-C Gaza, saat mengantri di sebuah depo pengisian BBM. Kami ikut mengantri bersama penduduk Gaza. Dan ketika berjarak sekitar 2-3 mobil, BBM habis dan SPBU pun seketika tutup," tutur Ikhwan.
Krisis listrik pun turut memperparah penderitaan yang rakyat sudah sedemikian berat. Saat Tim MER-C tiba Gaza pada 2010, pemadaman listrik terjadi setiap delapan jam. Maksudnya, delapan jam hidup dan delapan jam mati, begitu seterusnya. Kejadian ini berlanjut setiap hari di Gaza. Namun kini, tutur Ikhwan, krisis listrik bertambah parah seiring kelangkaan BBM.
Kebutuhan dua pertiga listrik di Jalur Gaza yang disuplai dari satu-satunya generator yang ada telah berhenti beroperasi pada Selasa (14/2) lalu, dikarenakan terbatasnya BBM. Dalam satu hari, hanya enam jam listrik hidup dan 18 jam mati. Listrik menyala hanya di malam hari, sejak pukul 06.00 sore hingga 00.00 tengah malam.
"Tidak terbayang bagaimana menderitanya pasien rumah sakit, terutama mereka yang berada di ruang ICU yang membutuhkan alat-alat kelistrikan untuk menyambung hidup mereka," kata Ikhwan.
Sektor pendidikan pun tak luput dari krisis ini. Anak-anak yang belajar di malam hari akan terganggu karena tidak ada penerangan akibat putusnya jaringan listrik. Pabrik-pabrik yang memproduksi roti dan makanan juga demikian. Beberapa pabrik sempat kesulitan menjalankan produksinya karena kekurangan BBM.
Direktur Teknik Departemen Kesehatan Gaza, Ir Bassam, mengatakan dalam satu jam kebutuhan BBM untuk menghidupkan listrik di seluruh RS di Gaza adalah 815 liter. Artinya, dalam satu hari dibutuhkan sekitar 19.560 liter BBM untuk kebutuhan generator rumah sakit.
Sedangkan pusat hak asasi manusia (HAM) Palestina menyatakan kebutuhan BBM untuk menghidupkan listrik di Gaza sebesar 600.000 liter per hari. Tapi sejak Jumat (10/2) lalu, BBM yang masuk ke Gaza melalui mesir hanya 340.000 liter, sedangkan cadangan atau stok BBM yang ada di Gaza tidak mencukupi. BBM yang berasal dari terowongan antara perbatasan Rafah dan Mesir ini menjadi sangat terbatas, karena ada pembatasan pengiriman dari pihak mesir.
Menurut sejumlah sumber di Gaza, pembatasan ini akibat adanya permintaan dari pihak penyuplai BBM dari mesir untuk menaikkan harga. Harga BBM di Gaza untuk jenis solar sebesar 2,5 sheqel atau setara Rp 6.250 per liter. Sedangkan untuk jenis bensin super seharga 4 sheqel atau Rp 10.000 per liter. Dari harga tersebut, para penyuplai BBM via terowongan menginginkan kenaikan sebesar 0.5 sheqel per liternya.
Pihak pemerintah telah melakukan berbagai langkah dengan berkoordinasi dengan pihak otoritas Mesir agar krisis ini segara dapat teratasi. "Entah sampai kapan penderitaan ini akan berakhir. Semoga Allah SWT memberikan pertolongan, kekuatan dan kesabaran bagi rakyat Gaza, yang merupakan penjaga tanah waqaf kaum Muslimin ini," harap Ikhwan.