Sabtu 25 Feb 2012 17:00 WIB

Amerika Serikat vs Rusia, Perang Dingin Baru?

AS - Rusia (ilustrasi)
Foto: vibizdaily.com
AS - Rusia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Tiga tahun sudah Amerika Serikat meluncurkan sebuah inisiatif untuk menata ulang hubungan dengan Rusia. Meski begitu, kedua negara raksasa itu masih saja berselisih terkait sejumlah isu. Inikah pertanda kedua negara kembali memasuki era Perang Dingin?

Sejatinya, tombol "reset" hubungan kedua adidaya itu secara simbolis ditekan pada tahun 2009. Ya, tak lama setelah Presiden Barack Obama dan Dmitry Medvedev terpilih sebagai pemimpin kedua negara.  Meski begitu, Rusia dan AS kerap kali terlibat dalam perdebatan yang memicu ketegangan hubungan kedua pihak.

Misalnya saja, Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin pernah menuduh Washington mencoba melemahkan Moskow dan menciptakan kekacauan di negara-negara bekas Uni Soviet. Ya, selama ini, Putin dikenal sebagai pengkritik keras AS.

Sementara rekannya, Medvedev mengatakan bahwa Rusia akan menargetkan sistem rudal AS di Eropa, jika Washington dan NATO gagal untuk mencapai kesepakatan dengan Moskow tentang pembangunan dan pengoperasian sistem tersebut.

Sejak proposal perisai rudal diluncurkan, Moskow telah berulang kali menyatakan keprihatinan atas sistem itu. Rusia menilainya sebagai ancaman atas kepentingan strategis Rusia. Medvedev juga memperingatkan bahwa Rusia bisa keluar dari Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis Baru (START II) dengan AS, jika Washington tidak mengindahkan tuntutan Moskow.

Akan tetapi, mungkin indikator yang paling jelas dari Perang Dingin baru antara AS dan Rusia adalah friksi mereka menyangkut masalah Suriah. Pada tanggal 4 Februari, Rusia dan Cina memveto resolusi rekayasa AS di Dewan Keamanan PBB, yang menyerukan pengunduran diri Presiden Suriah Bashar al-Assad. Rusia dan Cina mengatakan resolusi itu akan menjadi pelanggaran terhadap kedaulatan Suriah.

Kemitraan strategis antara Moskow dan Damaskus telah mendorong Rusia untuk tegas menentang setiap intervensi internasional di Suriah. Kemitraan antara kedua belah pihak kembali ke era Perang Dingin, ketika Hafez al-Assad memimpin Suriah.

Di sisi lain, AS telah meluncurkan misi untuk menggulingkan pemerintah Bashar al-Assad. Sejak awal Kebangkitan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara, AS memusatkan perhatian pada Suriah.

 

Tidak seperti Perang Dingin era Uni Soviet, ketika itu AS masih kuat dari segi ekonomi. Namun, kali ini kondisinya sudah berimbang. Kekuatan perekonomian Cina dan Rusia bahkan tampak lebih baik dibanding AS.

Rusia dan Cina sedang memainkan peran yang menentukan dalam babak baru Perang Dingin. Sebelum memveto resolusi anti-Suriah, Cina telah menggunakan hak veto di Dewan Keamanan PBB hanya enam kali dan sebagian besar terkait isu-isu yang langsung mempengaruhi Cina atau negara-negara tetangga di Asia.

Keputusan Cina untuk memveto dua resolusi anti-Suriah lebih merupakan sinyal dukungan bagi Rusia meski Moskow dengan sendirinya dapat mencegah manuver-manuver terhadap Damaskus. Sebagian besar analis politik sepakat bahwa keseimbangan kekuatan global bergerak ke arah timur. Sebuah negara adikuasa baru secara efektif berpihak pada Rusia

sumber : irib
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement