Rabu 29 Feb 2012 18:06 WIB

Embargo Minyak Iran Gagal, Clinton: Perlu Sanksi Agresif Bagi Teheran

Hillary Rodham Clinton/Ilustrasi
Foto: AP
Hillary Rodham Clinton/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  WASHINGTON -- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, mengatakan, AS sedang membujuk India, Cina, dan Turki agar berhenti membeli minyak Iran. Clinton menegaskan hal itu kepada sebuah panel Senat pada hari Selasa (28/2).

Clinton menegaskan kepada panel Senat bahwa Washington akan menerapkan sanksi baru yang agresif terhadap Teheran.  "Kami telah berkeliling dunia bersama tim tingkat tinggi dari Departemen Keuangan, Energi dan Negara, untuk menjelaskan bentuk sanksi kepada rekan-rekan kami di seluruh dunia," kata Clinton.

Pada kesempatan itu, Clinton juga menyatakan bahwa AS berupaya untuk membantu negara-negara yang memiliki ketergantungan signifikan terhadap minyak mentah Iran dengan mencari pemasok alternatif. Seraya menyinggung penilaian intelijen AS bahwa Iran belum memutuskan untuk mengejar senjata nuklir, Clinton mengatakan bahwa penting untuk bekerja dengan negara lain guna menjaga tekanan.

"Saya pikir ada pandangan yang sangat jernih tentang Iran. Itulah mengapa kebijakan presiden sangat jelas dan bersikeras bahwa AS bermaksud untuk mencegah Iran memperoleh senjata nuklir."

Clinton lebih lanjut menjelaskan, beberapa negara anggota Uni Eropa sangat bergantung sampai dengan 30-35 persen dari minyak mentah Iran. Sementara Jepang merupakan di antara negara yang paling aktif. Mereka telah mengambil langkah-langkah luar biasa untuk mencoba  mematuhi sanksi. Dia menuturkan, AS memahami bahwa beberapa negara tidak bisa menghentikan impor minyak Iran dan Washington akan bekerja keras untuk membantu mereka menemukan pasokan alternatif.

"Kami memiliki beberapa situasi yang unik. Lihatlah Jepang," katanya seraya menyinggung dampak gempa bumi dan selanjutnya krisis nuklir. Clinton mengakui bahwa tantangan utama kebijakan sepihak itu adalah mencari pemasok minyak alternatif.

Sementara itu di AS sendiri, lonjakan harga minyak telah memicu kemarahan di kalangan konsumen dan menimbulkan kekhawatiran atas pemulihan ekonomi negara adidaya itu. Lonjakan harga terakhir terjadi setelah Iran menanggapi pengumuman Uni Eropa untuk mengembargo minyak dengan memotong ekspor minyak mentah ke beberapa negara Eropa.

Presiden Barack Obama mengakui ketidakmampuan pemerintahnya untuk mengontrol peningkatan harga energi, sehingga Partai Republik terus menyalahkan Gedung Putih atas ketidaknyamanan ini.

sumber : irib
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement