REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -— Sepanjang sejarah konflik Palestina-Israel, sekitar 800 ribu warga Palestina ditangkap oleh Israel. Lebih dari 10 ribu di antaranya adalah perempuan. Sebagian besar dari mereka menjadi sasaran pelecehan seksual petugas penjara Israel. Meski begitu, mereka tak mau berbicara untuk mengungkapkannya.
Pada Hari Perempuan Internasional, beberapa dari mereka memutuskan untuk membicarakannya. SH, yang menolak mengungkap nama lengkapnya, ditangkap selama beberapa hari dan mendapat tekanan. “Petugas menginterogasi saya dan menganiaya saya, tetapi saya menolak,” katanya kepada Al-Arabiya, Jumat (9/3).
Lain halnya SH, Hanaa Shalabi (30 tahun) mogok makan selama 21 hari sebagai bentuk protes terhadap penghinaan yang diterimanya. Ia mengatakan, seorang perwira berpakaian sipil mengaku seorang perawat di penjara dan meminta dirinya untuk menanggalkan pakaian. “Ketika saya menolak, dia memanggil petugas lainnya untuk mengikat dan memukuli saya,”kata Hanaa kepada Masyarakat Tawanan Palestina.
Hanaa, yang kehilangan 10 kilogram berat tubuhnya berjanji melanjutkan aksi mogok makan sampai dia dibebaskan. Hanaa dijatuhi hukuman enam bulan penjara dan hukuman kini dikurangi menjadi empat bulan. Padahal, tidak ada tindakan kriminal apapun yang dilakukan Hanaa.
Menurut mantan tahanan, Iman Nefea, pemerintah Israel menyiksa tahanan perempuan sepanjang waktu. Jikapun tidak disiksa secara fisik, para tahanan disiksa secara lisan. “Dalam banyak kasus, mereka mencari tahanan perempuan setelah memaksa melepas pakaian mereka. Hal ini sangat memalukan karena dilakukan oleh petugas wanita,” katanya.
Aneh bagi Nafea karena seharusnya petugas penjara tak perlu mendapatkan informasi dengan menelanjangi para tahanan. Mereka, ungkapnya, memiliki peralatan canggih yang dapat mengungkapkan apa yang ada di bawah kulit. “Saya tahu seorang wanita Palestina diserang dan beberapa orang lainnya terus-menerus diancam akan diperkosa,” jelasnya.