Senin 12 Mar 2012 09:09 WIB

PBB: Dunia Krisis Air

Warga mengangkut galon berisi air bersih untuk dijual di Kampung Bandan, Jakarta Utara, Senin (20/2). (Republika/Aditya Pradana Putra)
Warga mengangkut galon berisi air bersih untuk dijual di Kampung Bandan, Jakarta Utara, Senin (20/2). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS- Pasokan air di dunia meregang akibat perubahan iklim dan kebutuhan yang meningkat akan pangan, energi serta kebersihan dan kesehatan bagi penduduk yang terus bertambah, demikian studi PBB.

Studi tersebut menyerukan pemikiran kembali secara radikal semua kebijakan untuk menangani berbagai permintaan. "Air segar tak dimanfaatkan secara berkelanjutan," kata Direktur Jenderal UNESCO Irina Bokova di dalam satu pernyataan.

"Keterangan akurat tetap berbeda, dan penanganannya masih terpecah-pecah, masa depan kita tak pasti dan risikonya diperkirakan akan bertambah parah," kata Dirjen UNESCO Irina Bokova.

Ditambahkannya, tuntutan dari sektor pertanian, yang sudah menyedot sebanyak 70 persen air segar yang digunakan secara global, tampaknya akan naik sebanyak 19 persen sampai 2050 saat penduduk dunia membengkak sebanyak dua miliar sampai sembilan miliar jiwa.

Petani nantinya perlu menanam 70 persen lagi pangan sampai saat itu, sementara standar hidup yang meningkat berarti setiap individu akan memiliki tuntutan daging dan makanan yang lebih banyak.

Laporan itu direncanakan dibahas di Forum Air Dunia, yang dimulai di kota Marseille, Prancis, Senin.

"Revolusi diam-diam" telah berlangsung di bawah tanah, demikian peringatan laporan tersebut, saat jumlah air yang disedot dari bawah tanah telah naik jadi tiga kali lipat dalam 50 tahun belakangan, sehingga hilang lah penopang saat musim kemarau.

Dan saat tuntutan meningkat, pasokan air di banyak wilayah justru tampaknya menyusut akibat perubahan pola curah hujan, kemarau yang lebih parah, pencairan gletser dan perubahan aliran sungai, kata laporan itu.

"Perubahan iklim akan secara drastis mempengaruhi produksi pangan di Asia Selatan dan Afrika Selatan antara sekarang dan 2030," kata laporan tersebut, sebagaimana dikutip Reuters. "Sampai 2070, tekanan terhadap air juga akan terasa di Eropa selatan dan tengah."

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement