REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK---Harga minyak mentah jatuh pada Kamis (Jumat pagi WIB) karena laporan, yang kemudian dibantah, bahwa Inggris dan Amerika Serikat telah setuju untuk melepaskan cadangan minyak mentah strategis dalam upaya mendinginkan harga tinggi, kata analis.
Harga minyak mentah di London telah merosot sebanyak empat dolar AS sebagai reaksi terhadap laporan tersebut, dan minyak mentah di New York jatuh lebih dari dua dolar AS.
Namun kedua kontrak berjangka itu kemudian "rebound" (berbalik naik) setelah para pejabat AS membantah sudah ada kesepakatan.
Kontrak berjangka utama di New York, minyak mentah jenis light sweet atau West Texas Intermediate, untuk pengiriman April ditutup turun 32 sen dari posisi Rabu menjadi 105,11 dolar AS per barel.
Di bursa London, minyak mentah Brent North Sea untuk penyerahan April berakhir di 123,55 dolar AS per barel, atau kehilangan 1,42 dolar AS dari sehari sebelumnya.
Laporan bahwa "AS dan Inggris telah menyetujui pelepasan persediaan minyak darurat sangat membebani harga minyak mentah," kata Myrto Sokou, seorang analis di Sucden Financial Research.
Harga minyak telah stabil pada awal perdagangan Kamis karena investor mempertimbangkan kekhawatiran terhadap pasokan Timur Tengah dan lonjakan stok minyak mentah AS, kata analis.
Namun ketegangan antara produsen minyak mentah Iran dan Barat tetap menjadi perhatian utama bagi para pedagang.
Badan Energi Internasional (IEA), Rabu mengatakan bahwa Iran akan kehilangan sekitar 45 persen dari ekspor minyaknya -- 800.000 barel per hari -- mulai pertengahan tahun ini akibat sanksi dan tekanan terhadap mitra dagangnya.
Pada Kamis fasilitator transfer antar bank global SWIFT mengatakan, pihaknya mulai Sabtu akan memotong akses ke sistem bank sentral Iran serta ratusan perusahaan dan individu dalam daftar hitam (blacklist) oleh Uni Eropa.
"Situasi dengan Iran kemungkinan akan lebih buruk sebelum menjadi lebih baik," kata Jason Schenker dari Prestige Economics, memprediksi harga akan menuju posisi yang lebih tinggi selama beberapa bulan mendatang.
"Arab Saudi sedang meningkatkan produksi untuk menggantikan pasokan minyak mentah Iran yang hilang," katanya.
"Tetapi kapasitas cadangan menjadi semakin terbatas, dan persediaan bisa jatuh secara global."