REPUBLIKA.CO.ID, Kehadiran AS dan pasukan NATO di Afghanistan konon adalah untuk menjaga keamanan dan stabilitas di negeri ini. Namun, sepanjang masa itu, sejumlah insiden justru melukai hati dan perasaan warga Afghanistan.
Tidak perlu terlalu lama merunut ke belakang. Dalam beberapa waktu terakhir ini saja, kita sudah mendengar berita yang sungguh memprihatinkan.
Akhir Februari lalu, pasukan AS kembali berbuat ulah dan menyulut amarah masyarakat Muslim Afghanistan dan seluruh dunia dengan membakar salinan Alquran disita dari para narapidana yang diadakan di AS yang dikelola pusat penahanan Bagram itu.
Langkah ini memicu protes di seluruh Afghanistan, di mana puluhan orang termasuk pasukan AS beberapa tewas. Pangkalan-pangkalan militer Amerika Serikat pun menjadi sasaran serangan roket dan mortir Taliban, dan volume serangannya semakin meningkat.
Tak lama berselang, kita pun kembali terenyak ketika ada kabar bahwa seorang tentara AS menembakkan senjata hingga membabi buta ke arah warga tak berdosa. Konon, alasan si tentara melakukan itu karena stres.
Berbeda ketika berusaha menerapkan sanksi tegas pada negara lain seperti Iran, AS justru terkesan lamban ketika menangani masalah ini sehingga mengundang kemarahan Presiden Hamid Karzai.
Sebelumnya, Presiden Afghanistan, Hamid Karzai, mengeluh bahwa militer AS tidak bekerja sama dengan tim Afghanistan untuk menyelidiki pembantaian itu. "Pemerintah Afghanistan tidak menerima kerja sama dari Amerika Serikat mengenai penyerahan tentara AS kepada pemerintah Afghanistan," kata Karzai saat ia bertemu keluarga korban.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah benarkah negara adidaya AS memang diperlukan kehadirannya di Afghanistan?