REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH, WILAYAH PALESTINA - Presiden AS Barack Obama berbicara (melalui telepon) dengan pemimpin Palestina Mahmud Abbas pada Senin dan meyakinkannya bahwa proses perdamaian tetap menjadi prioritas utama baginya, kata juru bicara Abbas.
"Presiden Obama memberitahu presiden Abbas tentang pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan meyakinkannya bahwa proses perdamaian Timur Tengah telah menjadi prioritas utama sejak ia menjabat," kata Nabil Abu Rudeina kepada AFP.
Abu Rudeina mengatakan, para pemimpin juga membahas "pembicaraan penjajakan" yang oleh para pejabat Palestina dan Israel selenggarakan di Amman pada awal tahun ini, serta rekonsiliasi antara upaya Partai Fatah Abbas dan gerakan Hamas saingannya.
Abbas "memberitahu Presiden Obama tentang isi pesan yang akan dia kirim kepada perdana menteri Israel," tambah Abu Rudeina, tanpa memberikan rincian.
Gedung Putih mengatakan Obama menjelaskan kepada Abbas bahwa semua pihak diperlukan untuk memperkuat upaya yang menghasilkan gencatan senjata untuk mengakhiri pertempuran antara Israel dan pejuang Gaza, dan berterima kasih kepada pemimpin Palestina atas kontribusinya.
"Kedua pemimpin sepakat tentang perlunya solusi dua negara, dan Presiden Obama mencatat bahwa upaya Yordania untuk mendorong diskusi langsung antara Israel dan Palestina adalah kontribusi penting bagi terwujudnya perdamaian," kata pernyataan Gedung Putih.
Pembicaraan antara Israel dan Palestina telah dibekukan sejak September 2010, dan konflik puluhan tahun itu telah dibayangi oleh pemberontakan di tetangga Suriah.
Para perunding dari kedua pihak mengadakan lima putaran "pembicaraan penjajakan" pada Januari di bawah sponsor Yordania dan Kuartet perdamaian Timur Tengah, dengan tujuan menemukan jalan kembali ke perundingan langsung.
Tetapi pembicaraan berakhir tanpa hasil, dengan Palestina menuduh Israel gagal untuk menyajikan proposal konkret di perbatasan dan keamanan sebagaimana yang diminta oleh Kuartet, yang terdiri para diplomat Amerika Serikat, PBB, Uni Eropa dan Rusia. Banyak pengamat mengatakan tidak ada prospek untuk terobosan sampai setelah Pemilihan presiden AS pada November.