Rabu 21 Mar 2012 14:07 WIB

Mauritania Setuju Ekstradisi Mantan Kepala Intelijen Era Rezim Khadafi

Rep: Lingga Permesti/ Red: Hazliansyah

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Presiden Mauritania Mohamed Ould Abdel Aziz telah memberi sinyalemen positif atas permintaan Libya untuk mengekstradisi mantan kepala intelijen era Muammar Khadafi, Abdullah al-Senussi yang ditahan pekan lalu.

“Saya telah bertemu dengan presiden Mauritania dan ia setuju untuk mengekstradisi Senussi ke Libya,” kata Wakil Perdana Menteri Libya Mustafa Abu Shagour, di Nouakchott, melalui akun Twitternya, Selasa (20/3). Senussi, kata Shagour, adalah orang Libya dan warga Libya menginginkannya menjalani sidang yang adil di Libya.

“Delegasi Libya mengunjungi Senussi di penjara. Senussi sekarang di penjara Mauritania dan akan segera di penjara Libya,”kata Shougur. Abu Shagour juga menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Presiden Mauritania atas keputusan yang berani untuk menangkap Senussi.

Keputusan Mauritania nampaknya berseberangan dengan Perancis dan Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) yang juga meninginkan Senussi. Seorang sumber keamanan Mauritania mengatakan kesepakatan itu hampir final namun mendapat tekanan dari Paris.

“Kami sepakat untuk mempelajari permintaan Libya dan hampir selesai membahasnya. Tetapi kita harus hati-hati karena Prancis memberi banyak tekanan,” katanya. Sementara hingga saat ini, belum ada reaksi dari Perancis atau ICC.

Perancis sudah mengeluarkan surat penangkapan internasional terhadap Senussi, setelah pengadilan di Paris menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup atas tuduhan terlibatnya Senusii dalam jatuhnya sebuah pesawat milik maskapai UTA Perancis di Niger, September 1989.

“Kami ingin Senussi diekstradisi ke Prancis. Kami berasa berhutang kepada keluarga korban dan keadilan,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Perancis, Bernard Valero.

Amnesti Internasional (AI) juga meragukan pengadilan Senussi di Libya dapat dilakukan secara adil. Akan lebih baik jika Senussi diadili di Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC). 

“Kabar penangkapan Senussi adalah momen penting korban kejahatan rezim Khadafi, tetapi sistem pengadilan di Libya lemah dan tidak mampu melakukan investigasi yang efektif. ICC tetap mekanisme terbaik untuk akuntabilitas Libya," kata pejabat penasihat senior AI, Donatella Rovera.

Senussi yang keberadaannya tidak jelas selama berbulan-bulan ditangkap di Bandara Nouakchott saat tiba dari Casablanca, Maroko. Saat ini, menurut sebuah sumber yang dekat dengan presiden Mauritania, mengatakan pesawat tiba semalam dari Libya dan berangkat sebelum tengah hari pada Rabu. Tidak jelas apakah Senussi akan berada di pesawat itu atau hanya membawa pulang para delegasi Libya. Tidak ada komentar resmi dari Libya.

Sementara itu, pemerintah Arab Saudi dan Spanyol juga telah menyampaikan keinginan untuk menginterogasi Senussi sehubungan dengan serangkain serangan yang terjadi di kedua negara tersebut. Satu sumber diplomatik mengatakan, Presiden Mauritania Abdel Aziz telah bertemu dengan duta besar Arab Saudi dan Spanyol, Senin (19/03).

Senussi yang merupakan tangan kanan Khadafi telah dikaitkan dengan pemboman 1988 di Lockerbie, Scotlandia yang menewaskan 270 orang. Senussi juga dicurigai sebagai peran kunci dalam pembunuhan lebih dari 1.200 narapidana di penjara Abu Salim, Tripoli pada 1996. 

“Amerika meminta kepada pihak berwenang Mauritania, Senin pagi, untuk bertemu dengan Senussi ketika ia di Mauritania,” kata seorang sumber diplomatik. Namun demikian, tidak ada komentar baik dari pemerintah Mauritania dan AS.

Sementara itu, Wakil Menteri Kehakiman Khalifa Faraj Ashour kepada Reuters mengatakan Senussi akan diadili sesuai hukum yang berlaku. Namun, Ashour mengatakan terlalu dini untuk membicarakan tuntutan kepada Senussi. “Salah satu kejahatan Senussi adalah korupsi, ia tahu banyak tentang uang yang tersembunyi,”katanya.

Geoff Porter dari Konsultasi Risiko Afrika Utara mengatakan, kasus Senussi dapat menjadi preseden bagi negara lain yang memiliki anggota keluarga dekat atau asosiasi yang dekat dengan Khadafi seperti Tunisia, Niger dan Mesir".

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement