REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI - Lebih dari 10 orang tewas dalam bentrokan Senin (26/3) antara orang-orang suku Toubou dan penduduk kota Sabha, Libya selatan, kata sejumlah pejabat setempat. "Lebih dari 10 orang tewas hari ini dalam bentrokan keras antara suku Toubou dan penduduk" Sabha, kata Abdelrahman Seif al-Nasr, kepala keamanan wilayah Fezzan, Libya selatan, kepada AFP.
Menurut Ali al-Dib, seorang mantan pemberontak, bentrokan meletus di pusat kota dan menewaskan antara 15 dan 20 orang di pihak eks-pasukan pemberontak.
"Kami menguasai lagi kantor-kantor dewan militer yang direbut orang Toubou. Pertempuran masih terus berlangsung dan memburuk," katanya melalui telefon dari Sabha, dengan latar belakang suara tembakan yang terdengar jelas.
Mohammed al-Harizi, juru bicara Dewan Transisi Nasional (NTC) yang berkuasa, belum bisa memberikan penjelasan terinci mengenai hal itu ketika dihubungi AFP melalui telepon.
Namun, anggota NTC Mukhtar al-Jadal mengkonfirmasi telah terjadi pertempuran di Sabha, sebuah kota oasis di Libya selatan, dan mengatakan, pemimpin NTC Mustafa Abdel Jalil bertemu dengan wakil-wakil dari wilayah selatan dalam upaya mencari penyelesaian.
Suku Toubou juga terlibat dalam bentrokan mematikan dengan suku lain di daerah oasis Sahara Kufra, di mana dua kelompok etnik terlibat dalam ketegangan terkait dengan masalah penyelundupan.
Kekerasan Senin itu terjadi setelah pada akhir pekan mantan Perdana Menteri Mahmud Jibril mengungkapkan kekhawatiran karena Barat meninggalkan Libya setelah runtuhnya rejim Muamar Gaddafi.
"Adalah kesalahan fatal meninggalkan Libya," kata Jibril, yang mengundurkan diri pada Oktober setelah menjadi PM sementara NTC, yang kini berkuasa di Libya.
NTC memelopori pemberontakan untuk menggulingkan pemerintah Gaddafi tahun lalu. Selama konflik, dewan itu mengatur permasalahan kawasan timur Libya yang dikuasai pemberontak dan melobi keras untuk pengakuan diplomatik dan perolehan dana untuk mempertahankan perjuangan berbulan-bulan dengan tujuan mendongkel kekuasaan Qaddafi.
Negara-negara besar yang dipelopori AS, Prancis dan Inggris membantu mengucilkan Qaddafi dan memutuskan pendanaan dan pemasokan senjata bagi pemerintahnya, sambil mendukung dewan pemberontak dengan tawaran-tawaran bantuan.
Libya era Qaddafi digempur pasukan internasional sesuai dengan mandat PBB yang disahkan pada 17 Maret 2011. Sebanyak 21 kapal NATO berpatroli aktif di Laut Tengah sebagai bagian dari penegakan embargo senjata terhadap Libya pada saat itu.
Aliansi 28 negara itu sejak 31 Maret 2011 juga memimpin serangan-serangan udara terhadap pasukan darat rezim Qaddafi. Resolusi 1973 DK PBB disahkan ketika kekerasan dikabarkan terus berlangsung di Libya dengan laporan-laporan mengenai serangan udara oleh pasukan Qaddafi, yang membuat marah Barat.
Qaddafi (68), pemimpin terlama di dunia Arab dan telah berkuasa selama empat dasawarsa dan bersikeras akan tetap berkuasa meski ia ditentang banyak pihak, diumumkan tewas oleh kelompok pemberontak Dewan Transisi Nasional (NTC) pada Kamis (20/10).
Keresahan internasional meningkat berkaitan dengan kondisi tidak jelas seputar kematian Qaddafi yang tampaknya dieksekusi, setelah kota asalnya Sirte dikuasai pasukan NTC pada 20 Oktober. Sejumlah pihak, termasuk Ketua Komisi HAM PBB Navi Pillay, menyerukan penyelidikan untuk mengetahui kebenaran seputar kematian orang kuat Libya itu.