REPUBLIKA.CO.ID, YANGON - Pemilihan parlemen yang dimenangkan Aung San Suu Kyi dan partainya bukan hanya satu-satunya berita terbaik dari Myanmar dalam seminggu terakhir.Salah satunya ialah keputusan pemerintah untuk menyatukan dan mengambangkan nilai tukarnya--satu kebijakan yang memiliki potensi untuk mengurangi korupsi, meningkatkan kinerja ekonomi dan mengangkat kehidupan jutaan warga Myanmar.
Tak ada yang menyangkal kekuatan simbolis dari kemenangan yang diraih Suu Kyi ikon demokrasi negaranya. Setelah memboikot pemilu 2010, Liga Nasional untuk Demokrasi tampaknya memenangkan 43 dari 45 kursi di parlemen-pemilu. Ada penegasan kuat dari daya tarik politiknya.
Namun, kemenangan itu hanya mewakili sebagian kecil dari kursi di legislatif Myanmar, dimana 25 persen secara otomatis dialokasikan bagi militer. Ujian sejati akan datang pada tahun 2015, ketika sebagian besar slot parlemen akan dilepas untuk pemilu.
Lebih menjanjikan adalah keputusan terakhir pemerintah tentang kebijakan ekonomi. Pelaksanaan nilai tukar kyat, Myanmar yang dilepas ke pasar pada 1 April dan penghapusan perbedaan lebih dari 100 banding 1 antara harga pasar resmi dan nilai tukar black-market, akan membantu manufaktur Myanmar dan sektor pertanian sekaligus membuat lebih sulit bagi pejabat korup untuk menyembunyikan uang haramnya.
Satu lagi, undang-udnang tengah dirancang untuk memuluskan investasi asing dengan membuka kemungkinan bagi investor untuk menyewa tanah, memulangkan keuntungan dan mengimpor pekerja terampil, serta memungkinkan bank asing untuk beroperasi di negara tersebut. Ada pula dua inisiatif tambahan penting, di mana dunia luar harus tahu, yakni Myanmar telah melakukan reformasi properti yang memberi petani hak memiliki tanah, mengolah tanah mereka dan pemberian kredit kepada petani dan pemilik usaha kecil.
Tak hanya itu pemilu akhir pekan lalu telah mendorong seruan kepada Barat untuk mencabut sanksi dan memberikan lebih banyak bantuan dan investasi ke Myanmar. Namun, menurut analis tetap ada alasan baik untuk berpikir dua kali sebelum memberi bantuan dan investasi ke Myanmar. Pemikiran itu bisa diringkas dalam satu kata: Kamboja.
Bangsa itu adalah salh satu bukti penerima manfaat dari jumlah besar bantuan luar negeri setelah jatuhnya Khmer Merah pada 1980-an. Sekarang Kamboja justru menjadi teladan korupsi dan kroni kapitalisme.
Myanmar hingga kini tidak memiliki kapasitas kelembagaan untuk menyerap banyak bantuan dan investasi. Bila bantuan diberikan pada tahap, maka investasi hanya akan memperkaya yang sudah kaya. Selain itu, masih banyak yang skeptis tentang niat pemerintah. Pasalnya, pemerintah masih dianggap kedok baru militer dan belum diuji oleh prospek menyerahkan segala kekuasaan yang sesungguhnya kepada rakyat.