REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Semua relawan Peace Corps telah diungsikan dari Mali dan sejumlah jajaran diplomatik Amerika Serikat (AS) ditawarkan penerbangan ke luar negeri itu. Tindakan tersebut dilakukan setelah kudeta militer di Mali pada Maret, kata beberapa pejabat Ahad (8/4).
Departemen Luar Negeri menyatakan pihaknya memberikan peringatan kepada warganya agar tak melakukan perjalanan apa pun ke Mali pada saat ini. Di Mali terjadi ketidakstabilan politik dari aksi perlawanan yang pecah di bagian utara negara tersebut. Selain itu, lanjut pejabat AS, ada ancaman serangan berlanjut dan penculikanorang asing di Mali bagian utara.
Dalam peringatan tersebut disampaikan desakan Deplu AS agar warga negaranya di Mali untuk mempertimbangkan keluar dari negara tersebut. "Situasi di negeri itu mudah berubah dan tak bisa diramalkan," kata Deplu AS, seperti dilansir AFP dan dipantau Antara, Senin (9/4).
Meskipun bandar udara di Bamako dibuka, lanjut pernyataan itu, pesawat yang tersedia beberapa waktu ke depan tak bisa diramalkan dan tergantung atas situasi keamanan. Peringatan paling akhir tersebut dikeluarkan setelah Presiden Mali, Amadou Toumani Toure, yang digulingkan dalam kudeta militer pada Maret, secara resmi mengundurkan diri, sehingga melicinkan jalan bagi kepergian junta militer yang mendepak dia.
Berdasarkan ketentuan dalam kesepakatan peralihan dengan blok Afrika Barat, ECOWAS, para pemimpin junta mengatakan mereka akan mengizinkan negara itu kembali ke demokrasi segera setelah Toure secara resmi meletakkan jabatan. Kesepakatan tersebut juga memberi peluang pencabutan sanksi ECOWAS, serta pengampunan bagi mereka yang terlibat dalam kudeta.
Pada Jumat (6/3), kelompok gerilyawan Tuareg memproklamasikan kemerdekaan bagi wilayah di bagian utara Mali yang disebut Azawad, setelah negara itu terpecah menjadi dua wilayah yang dikuasai gerilyawan di bagian utara dan junta di selatan akibat kudeta yang dilakukan oleh militer pada Maret.