REPUBLIKA.CO.ID, JERMAN -- Gunter Grass dilarang memasuki Israel karena puisinya yang menuduh Yahudi merencanakan penghancuran Iran dan membahayakan perdamaian dunia. Namun aktivis perdamaian di Jerman menyuarakan dukungan untuk Grass, Senin (9/4).
Juru bicara aktivis, Willi van Ooyen mengatakan, hal tersebut tidak dapat diterima. Kekhawatiran serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran, kata Ooyen, hanyalah iklim politik. "Ancaman dan persiapan perang iklim politik," ujarnya mewakili aktivis yang setiap tahun menggelar pawai perdamaian tersebut.
Grass (84 tahun) telah memicu kemarahan di dalam dan luar negeri dengan peluncuran sebuah puisi pekan lalu. Puisi tersebut bertajuk "What must be said" atau "Apa yang harus dikatakan". Di dalam puisi tersebut, dia menggambarkan ketakutannya pada senjata nuklir Israel yang dapat menghabisi rakyat Iran dalam satu kali serangan.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu menanggapi puisi tersebut sebagai hal yang memalukan. Grass, sastrawan pemenang nobel, mengatakan secara pribadi, segala tuduhan terhadap dirinya sangat menyakitkan. Meski demikian, dia tak berencana untuk mundur. "Saya sering mendukung Israel, saya sering berada di negara ini dan ingin negara eksis dan akhirnya menemukan kedamaian dengan negara-negara tetangga," ujar Grass kepada surat kabar Sueddeutdche Zeitung.
Perdebatan tentang puisi tersebut juga datang dari Menteri Luar Negeri, Guido Westerwelle. Dia menulis sebuah komentar yang berisi kritikan terhadap Grass. "Jerman memiiki tanggung jawab sejarah bagi warga Israel. Menempatkan Iran dan Israel dalam sebuah pijakan moral merupakan hal yang tak masuk diakal," tulisnya dalam Bild Am Sonntag.
Ini bukan kali pertama Grass memicu kemarahan. Penulis novel anti perang The Tin Drum ini pun telah memicu kontroversi pada tahun 2006. Saat itu Grass mengungkapkan bahwa enam dekade setelah perang dunia kedua, dia menjadi anggota Waffen SS yang terkenal kejam.