REPUBLIKA.CO.ID, PARIS - Komunitas Muslim Prancis prihatin dengan perlakuan standar ganda yang diterapkan pemerintah. Perlakuan itu dinilai memperjelas posisi Muslim sebagai minoritas yang terpinggirkan.
"Saat seseorang seperti Zinadine Zidane begitu berprestasi, pemerintah menganggapnya ia seorang Prancis. Lain cerita, ketika seorang Mohammed Mareh dengan mudahnya membunuh orang, maka ia tidak diakui sebagai warga Prancis," keluh, Naima, salah seorang Muslimah Prancis seperti dikutip dari onislam.net, Rabu (11/4).
Naim menilai perlakuan itu sungguh tidak adil. Apalagi ada penolakan dari negara asal Merah yang juga tidak mengakui dirinya sebagai wargan egaranya. "Pemerintah menyerukan mengubur Merah di Aljazair, negara kelahirannya, tetapi negara itu menolak jasad Mareh dikuburkan di wilayahnya," imbuh Naim.
Penulis buku, 'Buku Harian Ku di Guantanamo', Mahvish Rukshsana Khan, menegaskan tidak ada yang membenarkan serangan keci itu. Akan tetapi jangan jadikan pristiwa itu sebagai momentum adanya sentimen anti-Islam dalam masyarakat Prancis. "Ini yang salah," kata dia menegaskan.
Menurut Khan, seharusnye negara-negara Barat tidak mencari masalah sehingga menyebarkan kemarahan pada masyarakatnya. Sebab, disaat bersamaan masyarakat dunia Islam, utamanya di Afganistan atau Irak akan melakukan hal yang sama pada tentara Barat di kedua negara itu.
Wartawan Inggris dan wakil presiden Liga Muslim Eropa, Yvonne Ridley, sepakat dengan pendapat Khan. Menurutnya, pemerintah Barat harus mulai bertanggung jawab atas tindakannya di luar negeri. "Kadang mereka bertindak, tanpa persetujuan dari masyarakat mereka sendiri," ucapnya.
Seperti diberitakan, tekanan Prancis terhadap umat Muslim Perancis mulai memberikan dampak psikologis. Kondisi itu meruntuhkan kepercayaan umat Muslim Prancis terhadap kesetaraan atas keberagamaan dalam prinsip-prinsip kenegaraan Republik Prancis.
Islam sendiri merupakan agama terbesar kedua di Prancis, setelah Katolik Roma dengan populasi sebesar 5-6 juta jiwa. Belakangan, komunitas Muslim mendapat banyak tekanan semasa pemerintahan Sarkozy. Mulai dari larangan jilbab dan burka, persoalan daging halal hingga larangan kedatangan ulama dari Timur Tengah. Situasi kian runyam, saat terjadi insiden penembakan yang dilakukan Mohammed Merah di Toulouse, yang menewaskan guru dan murid Yahudi.