REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON---Pentagon menyatakan, serangan besar-besaran terhadap sejumlah bangunan pemerintah Afghanistan, pangkalan militer dan kedutaan besar asing mungkin dilancarkan oleh militan Haqqani yang beroperasi dari tempat-tempat persembunyian mereka di negara tetangga, Pakistan.
"Indikasi awalnya adalah jaringan Haqqani terlibat dalam serangkaian serangan yang terjadi kemarin di Kabul," kata juru bicara Pentagon George Little mengenai serangan yang terjadi Minggu di ibu kota Afghanistan itu.
Serangan 18 jam itu "sangat terkoordinasi", namun pasukan keamanan Afghanistan "melakukan tugas sangat efektif" dalam mengatasinya, kata Little kepada wartawan.
Tidak mengejutkan bahwa gerilyawan melancarkan serangan pada saat musim semi tiba karena pertempuran biasanya meningkat di Afghanistan, katanya. "Kami telah memperkirakan sesuatu seperti ini mungkin terjadi dan itu terjadi," tambahnya.
Meski Presiden Afghanistan Hamid Karzai mengeluhkan kegagalan intelijen Afghanistan dan pasukan pimpinan NATO, juru bicara Pentagon itu mengatakan, tidak realistik mengharapkan pasukan koalisi mengetahui setiap operasi yang akan dilakukan gerilyawan. "Saya tidak berpendapat ini merupakan kegagalan intelijen. Kami telah merasa sesuatu seperti ini mungkin terjadi," kata Little.
Gerilyawan menyusup ke Kabul dalam kelompok-kelompok kecil dan mengambil posisi strategis di tiga lokasi, kemudian menembaki kantor-kantor pemerintah, kedutaan besar dan pangkalan militer asing, sebelum seluruh 15 orang dari mereka tewas.
Secara keseluruhan, 51 orang, termasuk 36 militan, tewas dan sekitar 74 orang cedera di Kabul dan tiga provinsi berdekatan dimana kantor-kantor pemerintah dan militer juga diserang secara serentak, kata beberapa pejabat Afghanistan.
Pasukan keamanan Afghanistan memimpin operasi untuk mengatasi serangan itu, sementara NATO menyediakan helikopter.
Konflik meningkat di Afghanistan dengan jumlah kematian sipil dan militer mencapai tingkat tertinggi tahun lalu ketika kekerasan yang dikobarkan Taliban meluas dari wilayah tradisional di selatan dan timur ke daerah-daerah barat dan utara yang dulu stabil.
Jumlah warga sipil yang tewas meningkat secara tetap dalam lima tahun terakhir, dan pada 2011 jumlah kematian sipil mencapai 3.021, menurut data PBB.
Sebanyak 711 prajurit asing tewas dalam perang di Afghanistan sepanjang pada 2010, yang menjadikan 2010 sebagai tahun paling mematikan bagi pasukan asing, menurut hitungan AFP yang berdasarkan atas situs independen icasualties.org.
Jumlah kematian sipil juga meningkat, dan Kementerian Dalam Negeri Afghanistan mengumumkan bahwa 2.043 warga sipil tewas pada 2010 akibat serangan Taliban dan operasi militer yang ditujukan pada gerilyawan.
Taliban, yang memerintah Afghanistan sejak 1996, mengobarkan pemberontakan sejak digulingkan dari kekuasaan di negara itu oleh invasi pimpinan AS pada 2001 karena menolak menyerahkan pemimpin Alqaidah, Usamah bin Ladin, yang dituduh bertanggung jawab atas serangan di wilayah Amerika yang menewaskan sekitar 3.000 orang pada 11 September 2001.
Sekitar 130.000 personel Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) pimpinan NATO yang berasal dari puluhan negara berada di Afghanistan untuk membantu pemerintah Kabul memerangi pemberontakan Taliban dan sekutunya.
Sekitar 521 prajurit asing tewas sepanjang 2009, yang menjadikan tahun itu sebagai tahun mematikan bagi pasukan internasional sejak invasi pimpinan AS pada 2001 dan membuat dukungan publik Barat terhadap perang itu merosot.
Gerilyawan Taliban sangat bergantung pada penggunaan bom pinggir jalan dan serangan bunuh diri untuk melawan pemerintah Afghanistan dan pasukan asing yang ditempatkan di negara tersebut.
Bom rakitan yang dikenal sebagai IED (peledak improvisasi) mengakibatkan 70-80 persen korban di pihak pasukan asing di Afghanistan, menurut militer.