REPUBLIKA.CO.ID, GAZA CITY - Berbagai tanda kerusakan dan masa depan ekonomi suram di Gaza akibat pengepungan Israel begitu nyata. Pengangguran, kemiskinan, penyakit yang tak tertangani dengan baik belum termasuk krisis listrik dan air.
Namun yang tetap bertahan menyala adalah semangat perlawanan masyarakat Gaza. Banyak anggota masyarakat dari berbagai kelompok, semuanya melontarkan semangat perlawanan yang sama.
“Lihat bukit itu? Itu lokasi perang (pada pergantian tahun 2008-2009 lalu),” seorang gadis berusia 19 tahun menunjuk ke sebuah arah dari balik jendela rumahnya yang sederhana. “Dua orang saudara kami ikut jihad,” kata salah satu kerabatnya.
“Satu orang saudara saya ikut jihad,” kata teman si gadis menimpali. “Hidup di sini berat,” ujar seorang ibu berabaya hitam.
Semua barang keperluan hidup sehari-hari di Jalur Gaza sungguh mahal. Mulai dari tepung untuk membuat khubz (roti makanan sehari-hari) yang harus mereka bayar dengan mata uang penjajah Zionis yaitu sheqel, sampai beras, mulai dari minyak untuk memasak, apa lagi pakaian. Harga 2 kilo beras di Gaza sekitar 15 sheqel atau sekitar Rp 32.500.
Yang sangat ironis adalah bahwa harga ikan di tanah yang dipagari keindahan Laut Tengah itu pun luar biasa mahal. Satu kilo ikan harus dibayar dengan 40 sheqel alias sekitar Rp 100 ribu.
Yang lebih menyakitkan, kebanyakan ikan yang ada di pasar Gaza datangnya dari Mesir – terutama lewat terowongan-terowongan. Kenapa? Karena nelayan-nelayan Gaza tidak boleh melaut lebih jauh dari 3 mil laut. Lewat dari batas itu maka mereka akan segera ditembaki oleh patroli Israel Padahal, tidak akan cukup hasil tangkapan mereka bila tidak bergeser lebih jauh dari batas 3 mil itu.
Apa yang murah di Gaza? Sayur-sayuran, dan keperluan bumbu sehari-hari yang bisa mereka tanam sendiri. Dan ‘Andumi’. Maksudnya, mie instant Indomie produksi Saudi Arabia dan masuk lewat Mesir. “Murah! Cuma 1 sheqel,” ujar seorang ibu rumah tangga. “Tapi saya larang anak-anak saya makan mie instant terlalu sering. Tidak sehat.”
“Kalian hidup susah seperti ini, padahal kalian bisa mencari kehidupan yang lebih baik di luar Jalur Gaza. Kenapa tidak hijrah saja, misalnya ke Amerika atau Eropa?” tanya seorang relawan
Semua mata melotot kepada si relawan. “Meninggalkan Gaza? Tidak!” ujar seorang gadis Gaza berusia 17 tahun yang menyuguhkan minum bagi relawan-relawan seusai membantu ibunya di dapur. (Di masyarakat lain mungkin gadis seperti ini tengah sibuk hang-out dengan kawan-kawannya atau pacaran dan bermaksiat.)
“Hijrah dari Gaza? Tidak mau!” ujar gadis lain yang berusia 19 tahun. “Tidak akan pernah.” Kenapa tidak? “Ini negeri kami!” seru seorang ibu berapi-api.
“Karena ini tanah yang diberkahi (Allah) dan ini tanah ribath,” ujar si gadis 19 tahun.