REPUBLIKA.CO.ID, -- Lebih dari satu tahun kecelakaan nuklir yang dipicu gempa bumi besar dan tsunami, sebagian besar wilayah tanah di timur laut Jepang masih terkontaminasi nuklir. Akibatnya, masa depan sebagian besar wilayah pertanian dan orang-orang yang belum dievakuasi belum mendapat kepastian.
Surat kabar Asahi Shimbun melaporkan, warga tak dapat kembali ke setidaknya tujuh kota di sekitar pabrik nuklir Daiichi yang rusak, di Fukushima selama setidaknya lima tahun ke depan.
Menurut laporan pemerintah, diperkirakan enam dari tujuh kota tersebut memiliki tingkat radiasi yang berbahaya (di atas 20 millisievert [mSv] per tahun) selama satu dekade. Tingkat tersebut dianggap sangat tinggi oleh para ahli.
Pemerintah pusat belum mengartikulasikan rencana dekontaminasi untuk daerah sekitar pabrik. Wilayah tersebut telah mengalami kebocoran, hingga mengkontaminasi air dan membuat tinggi lonjakan radiasi. Begitu tingginya, sehingga bahkan robot pun tak kan dapat berfungsi di sana hingga akhir Maret.
Dari laporan Greenpeace pada Februari lalu menunjukan, dibanyak daerah yang terkontaminasi hampir tak dapat melakukan apa pun untuk dekontaminasi. Para petani mengatakan pada Al Jazeera, pada bulan Maret, tanah mereka dipenuhi tanah yang tercemar limbah dan tak ada rencana pembersihan di wilayah tersebut.
“Sudah satu tahun dan tak ada apa pun,” ujar petani organik Muneo Kano (61 tahun), saat ditanya apakah pemerintah telah melakukan upaya untuk menghapus lapisan tanah yang mengandung radioaktif di tujuh hektar ladang miliknya.
Ahli Radiasi Greenpeace internasional Jan Vande Putte mengatakan, pemerintah Jepang akhirnya mengakui bahwa memulihkan wilayah yang terkontaminasi jauh lebih kompleks. Selama satu tahun pemerintah Jepang telah memberi harapan palsu pada penduduk yang telah dievakuasi.
“Puluhan ribu orang masih hidup di daerah yang terkontaminasi. Populasi tersebut tak mendapat bantuan dan prioritas. Pemerintah secara efektif meninggalkan kelompok masyarakat kritis ini,” ujar Vande Putte.