Kamis 26 Apr 2012 00:00 WIB

ASEAN Sambut Penghapusan Sanksi UE Atas Myanmar

 Pemimpin perjuangan demokrasi di Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Foto: AP
Pemimpin perjuangan demokrasi di Myanmar, Aung San Suu Kyi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal ASEAN menyatakan bahwa semua anggota ASEAN menyambut penghapusan sanksi Uni Eropa (UE) terhadap Myanmar. Menurut pengamat dan Direktur Departemen Diplomasi Indonesia Center for Democracy, Diplomacy and Defence (IC3D), Ludiro Madu, pernyataan itu merupakan salah satu bentuk dukungan nyata ASEAN terhadap perkembangan demokrasi di negara itu pasca-Pemilu sela.

UE berniat menghentikan sanksi terhadap Myanmar, dengan perkecualian embargo senjata. Penghapusan sanksi itu juga meliputi sanksi individu atas 500 orang dan 800 perusahaan. Penghentian sanksi itu merupakan hasil pertemuan Menteri Luar Negeri 27 negara anggota Uni Eropa di Luksemburg pada 23 April 2012. Kebijakan UE itu menyusul rencana penghentian sanksi dari negara AS, Australia, negara G8, dan Jepang.

Ludiro melihat bahwa dukungan nyata tersebut perlu diberikan ASEAN sebagai imbalan masyarakat internasional atas kinerja demokrasi Myanmar, terutama dalam Pemilu sela 2012. Reformasi pemerintahan Thein Sein sejak awal 2011 dan masuknya partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) ke Parlemen Myanmar merupakan momentum politik penting untuk meneruskan reformasi politik selanjutnya, katanya.

Apalagi, katanya, keputusan tersebut tidak terganggu oleh boikot Suu Kyi dan 42 anggota NLD terhadap sidang perdana parlemen Myanmar pada Senin. Meskipun demikian, katanya, ASEAN perlu menegaskan kepada Myanmar bahwa dukungan masyarakat internasional itu bukan tanpa syarat.

Semua negara itu, kata Ludiro, tetap berharap Myanmar melanjutkan reformasi dan upaya rujuk serta membebaskan tanpa syarat sisa tahanan politik selain penghapusan persyaratan hukum bagi yang sudah dibebaskan. "Ini berarti bahwa Myanmar harus berhati-hati dalam menanggapi tantangan politik, tanpa perlu menutup eksperimen demokrasi dan kembali menjalankan kebijakan otoriter," kata Ludiro.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement