REPUBLIKA.CO.ID, NAJAF -- Ulama berpengaruh Syiah, Moqtada al-Sadr, menentang penggulingan pemerintah Irak. Menurut sejumlah pejabat Gerakan Sadr, Jumat (27/4), ulama itu bakal membahas soal tidak diperpanjangnya mandat perdana menteri selama kunjungannya ke Kurdistan.
Sadr tiba di wilayah otonomi Kurdistan, sehari sebelumnya. Dia mengajukan dirinya sebagai penengah antara Presiden Kurdistan, Massud Barzani dan Perdana Menteri Irak, Nuri al-Maliki. "Moqtada al-Sadr membahas sejumlah masalah selama kunjungannya ke wilayah Kurdistan, termasuk soal tidak memperbarui (mandat) Perdana Menteri Nuri al-Maliki, yang saat ini sedang dalam masa jabatan kedua kalinya," kata Dhia al-Assadi, sekretaris jendral blok parlemen Al-Ahrar kubu Sadr, seperti dilansir AFP dan dipantau Antara, Sabtu (28/4).
Sadr menekankan bahwa ia dalam posisi netral. Dia menyerukan dukungan bagi pemerintah saat ini dan tidak akan menggulingkannya. Namun, kata Assadi, hal itu tentunya dengan syarat, yaitu asalkan seluruh rakyat Irak berpartisipasi di dalamnya.
Ia juga menekankan ideologi utama Gerakan Sadr, yang berlandaskan atas kepentingan memberikan pelayanan kepada rakyat Irak dan menjaga rakyat Irak. Pihaknya juga berkepentingan untuk memperhatikan kesejahteraan Irak bagi seluruh rakyat.
Permasalahan lain yang dibahas mencakup persoalan antara kepala wilayah (Kurdistan) dan pemerintah federal serta masalah politik lain. Pejabat lainnya mengonfirmasi bahwa Sadr mempersoalkan tidak diperbaharuinya mandat Maliki. Masalah itu tak dihasilkan kesepakatan, karena membutuhkan aturan hukum yang harus disahkan oleh parlemen.