REPUBLIKA.CO.ID, BAMAKO -- Junta militer yang merebut kekuasaan di Mali pada Maret lalu menolak rencana regional guna memperluas kekuasaan pemerintah sipil sementara. Sehingga, hal tersebut menimbulkan kekhawatiran mengenai perundingan guna menyelesaikan krisis di negeri tersebut.
Junta sudah setuju untuk menyerahkan kekuasaan selama 40 hari kepada pemerintah sipil yang dipimpin oleh Presiden sementara Dioncounda Traore. Lalu, mereka mengizinkan negeri tersebut menyelenggarakan pemilihan umum paling lambat pada akhir Mei. Namun blok regional Afrika Barat, ECOWAS, Kamis (26/4), menyatakan pemerintah sementara mesti memerintah sampai 12 bulan guna menyelenggarakan pemilihan umum.
Junta Mali menuduh ECOWAS membuat keputusan tanpa berkonsultasi dengannya. Mereka mengatakan perubahan tersebut dapat menggelincirkan seluruh proses peralihan.
"Saya ingin kembali meyakinkan setiap orang bahwa CNRDRE (junta) hanya akan berpegang pada kesepakatan (sebelumnya, selama 40 hari) yang ditandatangani dengan ECOWAS. Tak mungkin untuk mengubah itu," kata pemimpin kudeta Kapten Amadou Sanogo setelah pertemuan yang berjalan tegang dengan para penengah ECOWAS.
Sanogo mengataka hal tersebut berkaitan dengan kekuasaan sementara Dioncounda. Setelah 40 hari, mereka baru akan memutuskan organ negara mana yang akan terus berfungsi. ''Yaitu yang kami sepakati dan tak bisa diubah," kata Sanogo kepada wartawan.
Sanogo, yang menambah ketidakpastian mengenai proses tersebut, tak menyebut-nyebut penyelenggaraan pemilihan umum setelah masa 40 hari. Prajurit bersenjata berkumpul di luar tempat pembicaraan di pangkalan militer Kati. Mereka berteriak-teriak "Turun lah ECOWAS" dan "Turun lah Dioncounda".