REPUBLIKA.CO.ID, Untuk pertama kali dalam 42 tahun, porsi tenaga nuklir dalam energi yang digunakan Jepang mencapai titik nol pada Sabtu malam, ketika reaktor nuklir di pusat pembangkit nuklir Tomari di Hokkaido ditutup. Reaktor nuklir di Jepang keseluruhannya berjumlah 50.
Setelah gempa dan tsunami Maret 2011 mengakibatkan kebocoran pada pusat pembangkit nuklir Fukushima, Pemerintah Jepang memberlakukan pemeriksaan ketat pada semua reaktor nuklir. Satu demi satu, reaktor-reaktor itu harus ditutup untuk memeriksa ketahanannya terhadap gempa dan tsunami.
Reaktor-reaktor pertama yang sudah lolos proses itu adalah unit tiga dan empat di pusat pembangkit nuklir di Prefektur Fukui, Jepang tengah. Awal April, Pemerintah Jepang memutuskan reaktor-reaktor itu siap dioperasikan, seperti dijelaskan Wakil Menteri urusan hubungan masyarakat, Noriyuki Shikata.
“Kami memetik cukup pelajaran dari penyebab kecelakaan pada reaktor Fukushima dan juga apa yang perlu dilakukan pada reaktor Ohi apabila kecelakaan parah terjadi di lokasi-lokasi itu,” ujarnya.
Meski Pemerintah Jepang menyetujui, belum satu pun reaktor yang lolos uji coba dioperasikan lagi.
Pemerintah Jepang mengatakan, tanpa tenaga nuklir, wilayah-wilayah Jepang, termasuk kawasan Kansai tengah, di mana reaktor Ohi terletak, akan kekurangan tenaga listrik parah musim panas ini. Namun, penduduk setempat belum yakin apakah mereka ingin reaktor-reaktor nuklir itu beroperasi lagi.
Jajak pendapat, baik di Prefektur Fukui dan pada tingkat nasional, menunjukkan kebanyakan rakyat menentang segera dimulainya lagi reaktor-reaktor nuklir. Para gubernur prefektur-prefektur yang berdekatan meminta jaminan dan tindakan-tindakan pengamanan yang lebih kuat. Mereka juga mempertanyakan apakah kawasan Kansai memang memerlukan reaktor-reaktor itu untuk mencukupi kebutuhan sepanjang musim panas.
Wakil Menteri Shikata mengatakan Pemerintah Jepang belum menentukan batas waktu pasti untuk mengoperasikan kembali PLTN-PLTN itu. Ia mengatakan Jepang terus melakukan “dialog sangat mendalam” dengan para pimpinan prefektur, termasuk prefektur-prefektur yang berdekatan dengan Fukui.
Shikata mengakui, kegagalan untuk menghidupkan kembali pembangkit nuklir Ohi sebelum musim panas ini adalah salah satu isu yang sedang dipertimbangkan Pemerintah.
Sementara itu, Jepang mengisi kurangnya tenaga listrik dari nuklir dengan impor batu bara, minyak, dan gas alam yang biayanya mahal. Kondisi ini melemahkan ketahanan tenaga listrik Jepang, perekonomiannya, dan mengakibatkan naiknya emisi-emisi gas rumah kaca di negara itu.