REPUBLIKA.CO.ID, Dimaksudkan untuk melawan pesawat tempur generasi baru Soviet--yang tak pernah terwujud, F22, dibayangi dengan sejumlah masalah. Titik kulminasi terjadi saat kematian salah satu pilote terbaik AS, Jeff Haney, pada Novemberi 2010, saat menerbangkan pesawat tersebut.
Saat pertama kali keluar, F-22, jet tempur siluman dengan bodi ramping diklaim Pentagon dapat mengalahkan jenis persenjataan dan manuver psawat perang manapun di dunia. Ada 200 pilot yang telah dilatih khusus menerbangkan pesawat tersebut.
Namun si Raptor, pesawat tempur termahal yang pernah ada ini, dijangkiti cacat misterius yang membuat para pilotnya menjadi disorientasi saat mengendalikan di kokpit gara-gara kekurangan oksigen.
Upaya panjang telah ditempuh oleh teknisi dan pakar jet tempur militer AS seputar perbaikan kinerja F-22, namun tak kunjung ada kabar baik. Kondisi itu membuat setidaknya dua pilot yang ditugaskan untuk menerbangkan si Raptor menolak melakukan itu.
Kedua pilot F22, Kapten Josh Wilson dan Mayor Jeremy Gordon, dalam acara 60 Minutes di CBS, Ahad (6/5) kemarin, memaparkan mengapa mereka memilih tak mau menerbangkan jet tempur terkini dari Angkatan Udara AS. Mereka adalah dua dari 200 pilot yang memiliki kualifikasi untuk menerbangkan F-22
Keprihatinan utama para pilot yakni pada sistem pesawat yang tak mampu menyediakan oksigen cukup sehingga menimbulkan hipoksia. Kondisi itulah yang membawa Jeff Janey pada kematiannya pada 2010.
Dua pilot tersebut menghadapi beberapa pertanyaan sulit, berikut di antaranya.
Apakah F22 aman untuk terbang? "Saya tidak nyaman menjawab pertanyaan itu, " jawab Gordon. "Saya tidak nyaman menerbangkan F-22 saat ini."
Hipoksia--kondisi di mana seseorang tak mampu bernafas karena kekurangan bahkan ketiadaan oksidan tetap terjadi di F-22 terlepas upaya keras Angkatan Udara AS untuk memperbaiki dan mencari tahu apa penyebabnya, apakah itu berbahaya? Kembali Gordon menjawab, "Kondisi saat terbang berbahaya."
Gordon menuturkan pula insiden seorang pilot yang tengah menerbangkan F-22 di Alaska menghantam pohon namun ia tak menyadarinya.
Sementara Josh Wilson mengaku ia harus benar-benar berkonsentrasi tinggi ketika menerbangkan jet tempur tersebut. "Benar-benar sangat berkonsentrasi meski hanya melakukan hal sederhana. Terbang, tarik tabung oksigen darurat dan lalu pulang kembali. Saat saya di atas saya tak bisa melakukan itu, saya tak bisa menarik cincin cadangan oksigen. Saya tak bisa menemukannya. Saya tak bisa mengingat di bagian mana dalam pesawat ia berada," tutur Josh.
Padahal cincin cadangan oksigen itu tetap berada di tempat semestinya, tidak berubah. "Saya tidak bisa mengingat saat itu," ungkapnya. AU mengatakan kondisi Josh menunjukkan gejala hipoksia atau kekurangan oksigen parah. Dalam situasi tersebut, seseorang pun bisa kesulitan mengidentifikasi kartu di hadapannya. Setelah insiden tersebut, gejala Josh sangat parah hingga ia harus dirawat di kamar hiperbarik.
Bahkan pilot-pilot yang tak pernah mengalami insiden fisik di udara mengalami masalah di darat, dalam beberapa hari setelah mereka menerbangkan F-22. "Di kalangan pilot F-22, ada istilah 'raptor-cough' (batuk raptor).
Dalam sebuah ruangan penuh dengan pilot F-22, sebagian besar pasti akan batuk berkali-kali. Hal lain, ketika berbaring di tempat tidur di malam hari setelah menerbangkan F-22, akan timbul perasaan berputar-putar, pusing, limbung atau vertigo dan sejenishnya.
Gordon mengakui, pesawat itu memiliki kemampuan terbang, manuver dan bertempur sangat canggih. Karena itu saat ditanya apakah sebaiknya AU mengandangkan pesawat tersebut, ia mengingkan ada upaya memperbaiki. "Akar penyebab masalah perlu diidentifikasi," ujarnya.
Ia menyayangkan, Angkatan Udara sepertinya hampir tidak melakukan apa-apa untuk memperbaiki. "Jadi kalau misal kami diminta untuk menerbangkan lagi, kami akan mengevaluasi ulang mengapa kami harus melakukan itu," ujarnya.
Saat ditanya apakah itu pendapat pilot lain, Gordon meyakininya. "Saya yakini itu suara mayoritas pilot meski mayoritas dari mereka tak bersuara," ujarnya.
AU membeli F-22 dari Lockheed Martin sebanyak 179 unit dengan banderol tiap jet sebesar 400 juta dolar (Rp3,7 triliunan). Pesawat itu tak pernah digunakan sekali pun dalam perang terkini yang melibatkan AS, mulai Afghanistan, Irak, hingga Libya.
Para Raptor itu resmi dihangarkan. Sementara, pakar terus mencari sumber masalah yang menyebabkan pilot mengalami kendala pernafasan. Sejak kembali digunakan tujuh bulan lalu pilot-pilot melaporkan 11 kasus hipoksia.