REPUBLIKA.CO.ID, PARIS - Gelombang protes anti-penghematan yang terjadi di Yunani dan Prancis mengguncang zona euro, Senin (7/5). Unjuk rasa menyebabkan kegelisahan bagi mata uang euro dan pasar saham.
Demonstrasi tersebut membayangi Presiden baru Prancis Francois Hollande yang ingin mengubah fokus kebijakan Eropa dari kebijakan pemangkasan anggaran untuk memulihkan pertumbuhan.
Kanselir Jerman, Angela Merkel meski secara terbuka mendukung Nicolas Sarkozy, berjanji menerima Hollande dengan tangan terbuka. Ia berjanji akan bekerja sama dengan Hollande mempertahankan hubungan kuat Prancis dan Jerman.
Namun ia juga menegaskan tidak ada negosiasi ulang atas perjanjian disiplin fiskal. Hollande mengatakan Prancis tidak akan meratifikasinya kecuali ada langkah konkrit untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
"Kami di Jerman dan saya secara pribadi berpendapat perjanjian fiskal tidak bisa dinegosiasikan. Perjanjian tersebut telah ditandatangani oleh 25 negara," kata Merkel kepada wartawan.
Ia menambahkan, Jerman berada ditengah-tengah perdebatan dimana Prancis dengan presiden barunya membawa penekanan sendiri. Pertumbuhan ekonomi hanya dapat dicapai melalui keuangan dan pertumbuhan yang solid.
Ketua Menteri Keuangan Zona Eur, Jean-Claude Juncker, mengatakan ia telah memberitahu Hollande bahwa pakta fiskal Uni Eropa tidak dapat dinegosiasi ulang.
"Tidak mungkin mengubah substansi perjanjian fiskal dan tidak ada negosiasi formal baru," kata Juncker setelah melakukan pembicaraan telepon degan Hollande, Senin (7/5).
Kendati demikian, ia mengatakan penambahan elemen pertumbuhan mungkin saja dilakukan walaupun tidak dalam bentuk perjanjian.
Terpilihnya Hollande memberi angin segar bagi pemimpin negara Eropa untuk meredam upaya Jerman dengan kebijakan penghematan yang justru memperburuk ekonomi mereka. Dalam panggilan telepon dengan Hollande, Ahad lalu, Perdana Menteri Italia Mario Monti berjanji akan memfokuskan kebijakan Eropa pada pertumbuhan ekonomi.