REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Penarikan cepat pasukan Prancis dari Afghanistan seperti dijanjikan presiden baru, Francois Hollande, akan memberikan tekanan pada sekutu NATO. Hal ini disampaikan mantan duta besar Amerika Serikat (AS), Selasa (15/5).
"Saya pikir orang akan menyesalkan penarikan dini Prancis. Saya pikir mereka mungkin minta dia (Hollande) mempertimbangkan kembali. Jika pergi, Prancis tidak akan merusak tugas NATO, tapi jelas akan membuat awal disayangkan dan menekan sekutu lain," kata James Dobbins, pakar keamanan negara dan diplomat di bawah pemerintahan AS sebelumnya, seperti dilansir AFP, Rabu (16/5).
Hollande, yang dilantik pada Selasa sebagai presiden baru Prancis, beberapa bulan lalu berjanji menarik pasukan Prancis dari Afghanistan pada akhir tahun ini. Penarikan itu terhitung dua tahun lebih awal dari yang direncanakan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Afghanistan akan menguasai acara temu puncak NATO mendatang dengan pemimpin 50 negara berkumpul di Chicago untuk dua hari perundingan pada Ahad (20/5) dan Senin (21/5).
Prancis memiliki 3.400 tentara di Afghanistan, terutama di Kapisa, lembah timurlaut, membuatnya satuan terbesar kelima di antara 130 ribu tentara Pasukan Bantuan Keamanan Asing (ISAF) pimpinan NATO, yang memerangi gerilyawan Taliban. Sejumlah 82 tentara Prancis di tewas di negara terkoyak perang itu sejak serbuan pimpinan Amerika Serikat untuk menumbangkan pemerintah Taliban pada 2001.
"Prancis tidak akan menjadi negara pertama menarik pasukannya lebih awal. Tapi, Prancis adalah peserta utama di sana dan cukup berhasil dan saya pikir peransertanya akan dirindukan," kata Dobbins. Dia mengatakan, ia pikir bahwa negara NATO secara dwipihak mungkin akan mendesak Hollande mempertimbangkan kembali atau setidak-tidaknya menemukan beberapa cara untuk memperlambat penarikan itu.