REPUBLIKA.CO.ID, “As-Salaamu’alaykum Polisi Indonesia… Kami mencintai kalian karena Allah!”
Teriakan salam itu disampaikan oleh sekelompok polisi Palestina berpakaian loreng biru tua dan muda, berbaret hitam, di depan kamera video Tim Amanah Indonesia (Sahabat Al-Aqsha). Mereka yang menyampaikan salam itu berasal dari Pasukan Khusus (kesatuan Brimobnya) Kepolisian Palestina.
Seorang instruktur latihan berbadan tinggi besar, berjenggot lebat, dan murah senyum, lalu menyampaikan harapan di depan kamera, “Insya Allah, dalam waktu tak lama lagi kita akan bersama-sama shalat di Masjidil Aqsha dalam keadaan merdeka!” Sambil tangannya menunjuk ke mural masjid suci itu di dinding di belakang mereka.
Sambutan yang ramah penuh persaudaraan sangat terasa, saat Tim Amanah Indonesia mengunjungi Markas Besar Kepolisian Palestina di Jalan ‘Umar Mukhtar, Madinah Gaza. Kami ditemani oleh Muqaddam (Ajun Komisaris Besar Polisi) Munir Abu Syanab, Kepala Humas Interpol Palestina, dan Muqaddam Nasser Abduh, Wakil Kepala Humas Mabes Kepolisian Palestina.
Belum sampai memasuki gedung utama markas kepolisian itu, seorang lelaki berbadan tegap, berkaos polo putih menyambut kami. “Maafkan saya, menyambut Anda mengenakan pakaian seperti ini, hari ini ada acara olah raga dan jalan-jalan santai,” kata lelaki itu sambil tersenyum. Ia adalah ‘Amid (Brigadir Jenderal Polisi) Amin Al-Batniji, Direktur Penerangan Kepolisian Palestina, yang langsung mengajak kami ke ruangannya.
Menurut berbagai laporan, angka kriminalitas di Jalur Gaza yang penduduknya berjumlah 1,7 juta jiwa menurun sangat drastis, sejak kawasan ini dibebaskan dari seluruh kekuatan militer penjajah Zionis maupun kakitangannya tahun 2005.
Padahal, sejak tahun 2007, pengepungan yang dilakukan Zionis Israel terhadap Jalur Gaza telah melumpuhkan hampir seluruh kekuatan ekonomi wilayah itu.
Biasanya, kalau ekonomi sekarat, rakyat akan memberontak, dan kekacauan sosial, termasuk angka kejahatan akan meningkat. Tapi teori ini tidak berlaku di Gaza. Apa penjelasannya?
Menurut Brigjen Pol. Amin Al-Batniji, pengepungan dan ancaman fisik dari luar justru telah memperkuat kepribadian masyarakat Gaza.
“Lebih dari itu, karena pemerintah Gaza adalah pemerintah Muslim yang menjalankan keislamannya, rakyat pelan-pelan semakin sadar bahwa Allah-lah Ar-Razaq, Yang Maha Memberi Rezeki,” demikian penjelasan Amin.
Pengepungan ini, menurutnya, malah menyuburkan sikap sabar dan qanaah di kalangan masyarakat. “Kalau pemimpin dan rakyat sama-sama melaksanakan Islam dan mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah akan memberikan ketenangan dan keamanan. Aman itu milik Allah, bukan milik manusia,” jelas Amin.
Selain itu menurut Amin, Islam juga menumbuhkan persaudaraan yang positif. Masyarakat di Gaza yang sama-sama sedang dikepung musuh, jadi mudah saling menolong, terutama menolong mereka yang paling lemah secara ekonomi.
Salah seorang pejabat tinggi di Kementerian Dalam Negeri Palestina (kementerian yang membawahi kepolisian) menceritakan, bahwa pejabat seperti dirinya setiap bulan dipotong gajinya oleh pemerintah untuk membantu orang miskin di negeri itu.
“Setiap bulan Ramadhan, potongannya tambah besar,” tukasnya. Pejabat tinggi itu menjelaskan, rezeki para pejabat Palestina di Gaza justeru semakin berkah dengan pemotongan yang bisa sampai 30 persen itu.
Kunjungan dilanjutkan dengan berkeliling markas yang membentang dari tengah kota sampai ke pinggir pantai Gaza itu.
Di berbagai bagian bangunan, nampak bekas-bekas tembakan senjata-senjata pesawat tempur maupun helikopter Zionis Israel pada Perang Al-Furqan (akhir 2008 sampai awal 2009).
Lubang-lubang bekas peluru kaliber besar bertebaran di dinding-dinding bangunan, dan sengaja tidak diperbaiki. Di bagian lain markas itu, ada puluhan bom dalam berbagai ukuran dipamerkan. Ada beberapa yang besarnya lebih dari tubuh manusia dewasa. Ini adalah sebagian bahan peledak yang disiramkan Zionis kepada rakyat Gaza. “Supaya kami dan dunia tetap mengingat kejahatan Zionis Israel,” kata Muqaddam Nasser Abduh.