REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM -- Dalam peresmian Menara Eiffel di Paris, Prancis, pada 1889 silam, banyak warga dari penjuru dunia berkumpul untuk melihat momen bersejarah itu. Menara Eiffel didirikan untuk memperingati satu abad Revolusi Prancis. Di antara mereka yang hadir di Paris itu adalah orang Indonesia dari suku Jawa dan Sunda, yang diundang penguasa Prancis dalam kapasitasnya untuk mengikuti l’exhibition universelle atau pameran semesta.
Saat itu, pameran digelar selama enam bulan, dan di antaranya menampilkan le village Javanais atau Desa Jawa. Pada pameran tersebut alat musik khas Jawa, gamelan menjadi ikon yang mampu menarik perhatian masyarakat Eropa. Mulai saat itu keberadaan gamelan mampu menancapkan pengaruhnya pada musik Barat.
Komponis Prancis, Claude Debussy (1862-1918), termasuk di antara yang terpengaruh untuk memasukkan gamelan dalam musiknya. Dikabarkan, Debussy sangat gandrung menggunakan gamelang hingga dikatakan mendobrakkan pembaruan pada musik klasik Barat. Pasalnya, gamelan Jawa punya tangga nada pélog dan sléndro, mungkin setara dengan minor dan mayor dalam musik Barat.
Tapi, pakar gamelan Belanda Ernst Heins tidak setuju bila Debussy langsung terpengaruh gamelan Jawa. “Itu mitos belaka,” tuturnya dikutip laman Radio Belanda, RNW.
Rujukan yang digunakan Heins waktu itu Debussy mendengarkan gamelan Sunda Sari Oneng dengan tangga nada lain dari pélog atau sléndro. Jadi, kata dia, mengkaitkan Debussy dengan dua tangga nada itu merupakan tindakan ceroboh. Karena buktinya memang tidak ada.
Sejarawati Belanda, Marieke Bloembergen mengatakan, soal pameran semesta yang digelar di Paris pada 1889 silam. Menurutnya, ada dua hal yang ingin ditonjolkan dalam pameran itu. Pertama, kemajuan teknologi yang diwakili Menara Eiffel. Kedua, pameran kolonial yang menunjukkan wilayah-wilayah koloni supaya kolonialisme memperoleh dukungan rakyat Prancis.