REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Nama aktivis yang satu ini menghiasi berbagai pemberitaan dunia beberapa pekan terakhir. Usai menjalani perawatan di rumah sakit Beijing, pemerintah Cina akhirnya mengizinkan Chen Guangcheng (40 tahun) pergi ke luar negeri.
Ia tiba di Amerika Serikat (AS), Sabtu (19/5). Tindakan nekat Chen kabur dari tahanan rumah dan meminta perlindungan di kedutaan besar AS telah memperkeruh hubungan kedua negara. Pemerintah AS pun dibuat ketar-ketir dengan persoalan Chen. Dari dalam negeri, Obama tidak luput dari kritik. Cina menuduh pemerintah AS telah ikut camput terhadap urusan dalam negeri mereka.
"Saya sangat bersyukur pemerintah Cina mampu mengendalikan situasi dan menghadapinya dengan tenang. Saya harap pemerintah terus membuka wacana, sehingga mendapatkan penghormatan dan kepercayaan dari rakyat," ujar Chen melalui penerjemah kepada wartawan di luar perumahan New York University di Greenwich Village, Manhattan.
"Saya sangat berterima kasih atas bantuan dari kedutaan besar AS karena menerima janji dari pemerintah Cina untuk melindungi hak saya sebagai warga negara," kata Chen. Ia menambahkan, janji pemerintah Cina tulus dan yakin ia tidak akan dibohongi. Chen percaya meski berada dalam kondisi sulit tidak ada yang tidak mungkin.
Chen juga menyatakan keprihatinannya atas tindakan balas dendam yang mungkin belum berakhir di kampung halamannya di desa Dongshigu, Shandong. Ibunda Chen dan kerabatnya yang lain masih berada di sana.
Sebuah pesawat United Airlines yang membawa Chen, istri, dan dua anaknya mendarat di Bandara Internasional Newark Liberty di New Jersey sekitar pukul 18.00 waktu setempat. Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan Chen bisa belajar di luar negeri. Langkah ini dipandang beberapa pihak sebagai cara meredakan ketegangan AS-Cina.
Bagaimanapun Chen telah menjadi simbol perlawanan rakyat Cina. Seorang tahanan buta berhasil mengakali pemerintahan Komunis. Negeri Tirai Bambu tersebut dalam beberapa tahun terakhir tampak mengalah terhadap tekanan diplomatik. Para 'pembangkang' juga diizinkan meninggalkan Cina. Hal tersebut dinilai sebagai cara untuk memudarkan sorotan terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia.