REPUBLIKA.CO.ID, CHICAGO -- Lebih dari 50 pemimpin dunia berkumpul di Chicago Amerika Serikat (AS) untuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) NATO terbesar dalam sejarah, Ahad (20/5). KTT ini diselenggarakan guna menyusun strategi terpadu di Arghanistan setelah satu dekade berkubang dalam peperangan.
Konferensi yang diselenggarakan di kota kelahiran Obama itu diselenggarakan sehari setelah para pemimpin negara bertemu untuk menangani krisis utang di Eropa. Diharapkan pertemuan tersebut membahas ditariknya 13 ribu pasukan di Afghanistan pada akhir 2014. Pertemuan juga akan menyoroti langkah bagaimana Afghanistan mengambil alih keamanannya sendiri.
Sebelumnya, Presiden Prancis Francois Hollande berjanji untuk menarik pasukan tempur dari Afghanistan tahun ini, setahun lebih cepat dari yang direncanakan. Dia mengatakan pasukan dengan jumlah yang sangat terbatas akan tetap berada di Afghanistan guna melatih pasukan keamanan Afghanistan.
"Keputusan ini adalah tindakan kedaulatan dan harus dilakukan dalam koordinasi yang baik dengan sekutu dan mitra kami," kata Hollande. Meski demikian, menurut Menteri Pertahanan Prancis, Jean-Yves Le Drian, rencana tersebut tidak akan mempengaruhi kesatuan NATO.
Hollande bukan satu-satunya pemimpin yang mendorong ditariknya pasukan secara dini. Kanada dan Belanda sudah beralih ke misi pelatihan terhadap para pasukan Afghanistan. Sementara Perdana Menteri Australia, Julia Gillard, juga mengatakan pasukannya akan ditarik tahun depan meski pemerintah Australia membantah hal tersebut.
Para pemimpin aliansi NATO dapat menggunakan pendekatan yang sama dalam diskusi akhir pekan ini dari pendanaan jangka panjang untuk tentara dan polisi Afghanistan. Pemerintah AS telah berjanji untuk memberi 1,3 miliar dolar AS setahun untuk pasukan Afghanistan. AS diperkirakan akan menanggung setengah dana untuk menarik pasukan sementara masyarakat internasional sisanya.
Analis NATO memeringatkan resiko tinggi akan terjadi terhadap stabilitas Afghanistan jika penarikan pasukan dilakukan secara terburu-buru. "Ide bahwa transisi resmi yang telah dijadwalkan dapat menghasilkan kondusifitas di Afghanistan hanya khayalan,"kata mantan perwakilan Uni Eropa untuk Afghanistan, Barbara Stapleton.