REPUBLIKA.CO.ID, CHICHAGO -- Sekretaris Jenderal NATO, Anders Fogh Rasmussen menyampaikan keprihatinan mengenai kekerasan di Suriah. Rasmussen pun menegaskan pihaknya 'tak berniat' melakukan serangan militer terhadap rezim di negara Timur Tengah tersebut.
"Kami sangat mengecam perilaku pasukan keamanan Suriah dan kekerasan mereka terhadap penduduk Suriah, dan kami mendesak pimpinan Suriah untuk menampung aspirasi sah rakyat Suriah," katanya dalam konferensi pers selama pertemuan puncak aliansi di Chicago, Amerika Serikat, Ahad (20/5) kemarin. "Tetapi sekali lagi NATO tidak berniat untuk campur tangan di Suriah," tegasnya.
NATO telah menyampaikan kecaman dengan dukungan serangan udara di Libya, tetapi mengesampingkan intervensi militer di Suriah, di mana para demonstran oposisi dan pemberontak yang bersenjata seadanya telah dibombardir pasukan rezim yang bersenjata berat.
Hal itu dikatakan Rasmussen satu hari setelah negara-negara G8 mengatakan 'transisi politik' diperlukan untuk mengakhiri krisis di Suriah, di mana para pemantau mengatakan lebih dari 12 ribu orang tewas kebijakan kekerasan yang diberlakukan pemerintah sejak Maret 2011.
Rasmussen mendesak rezim Suriah untuk mematuhi gencatan senjata PBB dan rencana perdamaian. Kebijakan tersebut menurut Rasmussen adalah platform terbaik untuk menemukan solusi di Suriah. Amerika Serikat memasok peralatan komunikasi dan kacamata malam untuk pemberontak Suriah, tapi sejauh ini negara Paman Sam itu dikabarkan berhenti sejenak mempersenjatai pemberontak secara terbuka. Media AS melaporkan, Washington mulai mengkoordinasikan pengiriman senjata untuk pemberontak yang dibiayai negara-negara Teluk.
Serangan bom masih terus terjadi di Suriah. Ahad (20/5) kemarin, sebuah granat roket meledak di dekat satu tim pengamat PBB di pinggiran Damaskus. Ledakan itu membuat puluhan orang tewas dalam kekerasan sementara bentrokan berkobar antara pasukan rezim dan pemberontak bersenjata.