REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Pengeboman pesawat Pan Am Penerbangan 103 hampir 24 tahun lalu akan tetap menjadi misteri. Satu-satunya terdakwa kasus itu, Abdel Basset al-Megrahi, meninggal akibat kanker pada usia 60 tahun, Ahad (20/5) lalu, seperti dilansir Reuters.
Kematian pria asal Libya tersebut meninggalkan setumpuk pertanyaan tidak terjawab mengenai serangan dan kejadian di pesawat Pan Am itu. Hingga akhir hayatnya, Megrahi bersikukuh tidak mengakui dirinya bersalah. Ia menekankan dirinya hanyalah seorang eksekutif penerbangan, bukan agen intelijen Libya sebagaimana tuntutan jaksa kepadanya.
Peristiwa tersebut juga dikenal dengan Tragedi Lockerbie, karena saat itu pesawat meledak di udara saat melintas di Lockerbie, Skotlandia pada 21 Desember 1988. Sebanyak 270 nyawa melayang, 189 di antaranya adalah warga negara AS. Rumah dan kendaraan penduduk Lockerbie hancur dan menewaskan 11 penduduk lokal.
Ia dihukum karena diam-diam memasukkan koper berisi bom ke pesawat di Bandara Luqa, Malta, saat dirinya menjabat sebagai kepala operasi Maskapai Penerbangan Libya Arab. Koper tersebut kemudian dipindahkan di Frankfurt ke penerbangan lain dan dimasukkan dalam penerbangan Pan Am 103 di Bandara Heathrow, London, Inggris.
Megrahi dinyatakan bersalah berdasarkan hukum Skotlandia pada 2001 dan dibebaskan pada 2009. Ia kembali ke Libya karena kanker yang dideritanya dan diperkirakan tidak akan hidup lama.
Keputusan mengembalikan Megrahi ke tanah kelahirannya memicu kemarahan keluarga korban. Pemerintah AS juga mengkritik langkah tersebut. Perdana Menteri Inggris David Cameron dalam kunjungannya di AS mengatakan Megrahi seharusnya tidak pernah dibebaskan.
Saudara Megrahi, Mohammed, mengatakan Megrahi meninggal di rumahnya akibat komplikasi kanker prostat. Ia dimakamkan Senin. "Dia terlalu sakit untuk mengucapkan apa pun. Hanya karena Abdul Basset sudah mati tidak berarti masa lalu bisa dihapus. Kami akan selalu mengatakan kepada dunia bahwa kakak saya tidak bersalah," ujar saudara yang lain, Abdulhakim.