Selasa 22 May 2012 06:08 WIB

Australia Yakini RI Bukan Dalang People Smuggling

Rep: Irfan Junaidi/ Red: Hazliansyah
Aburizal Bakrie
Foto: Ismar Patrizki/Antara
Aburizal Bakrie

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Isu penyelundupan manusia (people smuggling) mengemuka dalam pertemuan Menteri Luar Negeri Australia Hon Bob Carr dengan Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie di Canberra, Senin (21/5). Menurut Ical, dalam pertemuan itu Australia meyakini bahwa Indonesia bukan pelaku utama dalam kkasus tersebut.

Ical menambahkan bahwa dalam pandangan Australia, para nelayan Indonesia yang tertangkap itu hanyalah pelaku pembantu. “Indonesia hanya menjadi small fish bagi Australia dalam kasus itu,” tutur dia usai pertemuan tersebut.

Saat ini, menurut Ical, pemerintah Australia terus memburu otak atau dalang dari penyelendupan manusia yang membuat sekitar 470 warga negara Indonesia (WNI) ditahan pihak Australia itu. Menlu Australia, tutur dia, lebih meyakini bahwa dalang dari penyelundupan manusia itu berasal dari Timur Tengah.

Sebelumnya, Duta Besar Indonesia di Australia, Primo Alwi Joelianto mengungkapkan, saat ini pihaknya sedang berupaya meminta pemerintah Australia mengubah aturan soal penahanan terhadap WNI yang dicurigai terlibat dalam penyelundupan manusia. Pemerintah Australia menerapkan undang-undang  yang secara otomatis menahan WNI yang ketahuan bersama para imigran gelap masuk Australia secara ilegal.

Hukuman tahanan yang tercantum dalam undang-undang itu adalah lima tahun. Artinya, pemerintah Australia bisa menahan para WNI ini maksimal selama lima tahun, selama menunggu proses peradilan berjalan.

Selain soal penyelundupan Manusia, Ical mengungkapkan, dalam pertemuan dengan Menlu Australia itu juga dibahas soal Lombok Treaty yang memastikan Papua sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia.

“Kata menlu, kalau ada suara lain soal ini di parlemen Australia, maka itu bukan suara resmi pemerintah,” tutur Ical.

Secara pribadi, pihaknya pun mengakui bahwa saat ini tidak terlihat adanya peran Australia dalam berbagai peristiwa yang mendorong Papua untuk lepas dari Indonesia. Memang, kata Ical, saat ini masih ada suara-suara ‘miring’ soal Papua yang suka muncul di parlemen negara tersebut. Namun, kata dia, suara itu tidak berpengaruh dominan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement