Ahad 27 May 2012 11:11 WIB

Dua Kelompok Pemberontak Mali Bentuk Negara Islam

Rep: Ani Nursalikah/ Red: Djibril Muhammad
Pemimpin pemberontak Mali, Amadou Sanogo.
Foto: AP
Pemimpin pemberontak Mali, Amadou Sanogo.

REPUBLIKA.CO.ID, BAMAKO - Dua kelompok pemberontak yang menguasai setengah wilayah utara Mali akhirnya memutuskan untuk bersatu. Mereka mengumumkan hal itu, Sabtu (26/5).

Mereka akan bekerja bersama membangun negara Islam merdeka di wilayah yang mereka kuasai. Salah satu pemimpin kelompok Ansar Dine, Alghabass Ag Intalla, telah mengonfirmasi bahwa kelompoknya bergabung dengan Gerakan Nasional untuk Pembebasan Azawad (NMLA).

Ansar Dine adalah kelompok yang memperjuangkan dibuatnya negara Islam. NMLA adalah kelompok pemberontak sekuler yang dipimpin separatis Tuareg. Kedua kelompok menandatangani kesepakatan di utara Kota Gao. Tembakan perayaan membahana di Gao dan Timbuktu.

"Saya telah menandatangani persetujuan untuk membangun negara Islam dan merdeka di mana kami akan menerapkan hukum Islam," ujar Ag Intalla.

Kesepakatan tersebut menandakan perubahan yang mengkhawatirkan di Mali. Ansar Dine diketahui berhubungan dengan Alqaeda di Islamic Maghreb dan berafiliasidi dengan Alqaeda di Afrika. Kelompok itu bertanggung jawab atas berbagai serangan bunuh diri dan penculikan warga asing.

Dua kelompok tersebut menguasai wilayah utara Mali yang luasnya setara dengan Perancis pada akhir Maret. Tindakan itu memaksa pasukan pemerintah Mali terbang ke selatan.

Sebelumnya, Ansar Dine dan NMLA tidak bersepakat atas penerapan hukum Islam. Ansar Dine juga sempat menolak tujuan NMLA membentuk negara sendiri bagi Tuareg.

Di kota terakhir yang direbut kelompok pemberontak, Timbuktu, NMLA mengambil alih bandara lokal. Sedangkan, Ansar Dine berhasil merebut kamp militer di pusat kota.

Kedua kelompok mempunyai bendera masing-masing. Para saksi mata melaporkan melihat salah satu kelompok menaikkan benderanya di gedung-gedung pemerintahan dan kediaman gubernur.

Kesepakatan antara dua kelompok itu memungkinkan mereka mencapai tujuan dan menggabungkan kekuatan. Setelah kudeta pada 21 Maret, pasukan keamanan Mali terpecah dan tidak memiliki motivasi mempertahankan negara.

Pemerintahan transisi mengatakan akan merebut kembali wilayah utara. Namun, sejauh ini faksi di Bamako terlalu sibuk berdebat mengenai siapa yang akan memimpin transisi daripada memikirkan persoalan di utara.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement