REPUBLIKA.CO.ID, COPENHAGEN - Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton, Kamis (31/5), menyampaikan argumentasi yang menentang campur tangan bersenjata di Suriah kendati terjadi pembantaian pekan lalu di Kota Kecil Houla.
Ketika berbicara kepada mahasiswa Denmark, Hillary menghadapi pertanyaan keras mengenai apa yang mungkin melatar-belakangi Amerika Serikat dan negara lain untuk melakukan aksi militer di Suriah, tempat Presiden Bashar al-Assad memerangi perlawanan anti-pemerintah selama 14 bulan.
Pembantaian Jumat atas lebih dari 100 warga sipil, banyak di antara mereka anak kecil, di Houla telah memicu seruan agar Barat melakukan tindakan yang lebih tegas di Suriah, kendati Rusia dan Cina menentangnya.
Namun Hillary Clinton menyampaikan alasan AS yang menentang campur tangan bersenjata untuk sekarang, bertolak-belakang dengan di Libya --tempat serangan udara pimpinan Barat tahun lalu membantu mengakhiri kekuasaan Muamar Qaddafi.
Hillary mengatakan Suriah memiliki masyarakat yang lebih beragam dengan perpecahan suku yang lebih besar, tak ada oposisi yang bersatu, pertahanan udara yang lebih kuat dan militer yang jauh lebih mampu ketimbang yang dimiliki Libya.
Di atas semua itu, ia menekankan tak ada dukungan internasional sebab Rusia dan Cina menentang di Dewan Keamanan PBB, tempat mereka telah dua kali memveto resolusi atas Suriah.
"Banyak orang berusaha membayangkan apa campur tangan yang efektif yang takkan menimbulkan lebih banyak penderitaan dan korban jiwa," kata Hillary sebagaimana dikutip Reuters.
Ia berkilah padatnya warga Suriah meningkatkan kemungkinan jatuhnya korban jiwa di pihak sipil dalam setiap aksi bersenjata. "Kami mempertimbangkan semua ini. Ada semua jenis perencanaan sipil dan kemanusiaan serta militer tapi banyak faktor tak tersedia di sana," katanya.
Namun Hillary mengatakan ia tak putus-asa mengenai kemungkinan bisa membujuk Rusia agar mendukung aksi lebih keras terhadap pemerintah Bashar. Ia menyatakan ia telah mengangkat kasus bahwa kemungkinan perang saudara besar-besaran lebih tinggi kalau dunia gagal bertindak.