REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Gerilyawan Suriah, Senin (4/6), menyatakan tidak lagi menghormati dan terikat pada gencatan senjata yang diusung PBB di Suriah.
Mereka menilai Presiden Bashar al-Assad telah melanggar tenggat waktu gencatan senjata yang diberikan PBB dalam upaya menghentikan konflik di negara itu. Alhasil, gerilyawan mulai kembali melakukan serangan pada militer pemerintah.
Satu kelompok pengawas oposisi Suriah membenarkan pernyataan gerilyawan tersebut, dengan mengatakan sedikitnya 80 prajurit Suriah tewas dalam gelombang serangan yang dilakukan gerilyawan akhir pekan lalu.
"Kami telah memutuskan untuk mengakhiri komitmen (gencatan senjata) ini," kata Juru Bicara Tentara Pembebasan Suriah (FSA) Mayor Sami al-Kurdi. "Kami telah melanjutkan serangan kami, namun itu semua merupakan upaya kami membela diri, yang berarti kami hanya menyerang pos pemeriksaan di kota besar."
Al-Kurdi mengatakan, misi 300 orang pengamat tak bersenjata PBB sudah tidak lagi relevan. Mereka menilai misi itu harus diubah menjadi "misi pelaksana perdamaian", atau bahkan dunia harus memberlakukan zona larangan terbang dan zona penyangga guna membantu menjatuhkan Presiden Suriah, Bashar al-Assad.
Gagasan semacam itu nyaris tak mendapat tanggapan dari negara Barat, terutama Rusia dan Cina.
Rusia sendiri tetap pada keputusannya menentang upaya sejumlah negara Barat mengutuk Bashar dan menggesernya dari jabatan presiden.
Utusan PBB dan Liga Arab Kofi Annan, yang dijadwalkan menyampaikan penjelasannya di Dewan Keamanan PBB dan Sidang Majelis Umum pada Kamis (7/6), mendesak Suriah segera memastikan rencana perdamaian kedua belah pihak.
Menurut Annan, itu adalah satu-satunya jalan keluar untuk segera menghentikan konflik.
PBB sendiri telah menjadwalkan gencatan senjata di Suriah sejak 12 April lalu. Namun upaya ini tidak pernah terlaksana. Hal yang paling parah terjadi adalah pembantaian 108 orang di Houla oleh pasukan pemerintah (25/5) silam.